Nama : Aurel Gracia
Nim : 22016014
Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.
Sesi(08.50-12.20)
A. TEORI SASTRA
Kata teori sastra berasal dari dua kata, yaitu kata teori dan kata sastra.
Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya(diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut.
Karya sastra bukanlah karya yang ilmiah yang dapat dirunut kebenaran faktualnya sebagaimana merunut kebenaran berita surat kabar tentang peristiwa tertentu, atau merunut berita yang diceritakan seseorang tentang kejadian tertentu. Kebenaran pada karya sastra bukanlah kebenaran yang bersifat faktual tetapi kebenaran yang bersifat kemanusiaan. Sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi personal sekaligus dimensi sosial. Dalam sastra, pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan itu secara fundamental mengandung gagasan estetis yang menimbulkan rasa indah, senang, dan menggugah hati. Dengan membaca karya sastra kita diperkenalkan kepada kekayaan-kekayaan batin yang memungkinkan kita mendapatkan insight, persepsi, dan refleksi diri sehingga kita dapat masuk ke dalam pengalaman nyata hidup kita. Teori sastra adalah ilmu yang mengungkapkan tentang sastra sebagai karya yang memuat pengalaman batin manusia.
Teori sastra sudah banyak ditulis orang. Masing-masing teori berkembang sesuai dengan sudut pandang yang berbeda. M.H. Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition mencoba membanding-bandingkan model-model teori sastra yang telah banyak ditulis, dan menyimpulkan bahwa teori-teori tersebut beraneka ragam, bahkan mengacaukan. Untuk mempelajari karya sastra, dia mencoba melihat situasi sastra dalam konteks keseluruhan, sebagai suatu keutuhan. Diagram yang dikemukakannya dalam melihat konteks sastra sebagai berikut.
Artist (pencipta) Audience (pembaca)
Dalam diagramnya yang memuat konteks situasi sastra tersebut sekaligus terlihat teori dan pendekatan yang dilakukan dalam meneliti karya sastra. Menurut Abrams, ada empat komponen utama yang sekaligus merupakan sudut pandang dalam mempelajari karya sastra. Keempat sudut pandang itu ialah sebagai berikut.
1. Universe (realita kehidupan) sebagai objek faktual karya sastra. Karya sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat. Di dalam karya sastra ditemukan fenomena kehidupan nyata yang karenanya menimbulkan insight, kesan yang dalam bagi pembacanya. Karya sastra merupakan mimesis kehidupan. Dari sudut pandang ini, teori mimesis dan pendekatan mimesis merupakan teori dan sekaligus pendekatan yang digunakan dalam mengkaji karya sastra,
2. Work (karya sastra itu sendiri) sebagai suatu objek yang dipelajari. Karya sastra sebagai suatu karya yang telah dihasilkan penulisnya memiliki struktur sendiri yang membangun keutuhan dirinya. Sebagai suatu karya ia telah terlepas dari pengarangnya. Dari sudut pandang ini, teori dan pendekatan struktural, atau pendekatan objektif merupakan teori dan pendekatan yang digunakan dalam mempelajari karya sastra,
3. Artist (pencipta karya sastra). Sebagai seorang pengarang yang menghasilkan karya sastra dia berangkat dari berbagai ide, pemikiran, perasaan, pandangan, gagasan serta hal lain yang menyebabkan ia akhirnya menulis karya sastra. Ia mengekspresikan segala yang terdapat di dalam dirinya ke dalam bentuk karya sastra. Dari sudut pandang ini, teori ekspresif dan pendekatan ekspresif merupakan teori dan pendekatan yang digunakan dalam mempelajari karya sastra, dan
4. Audience (pembaca). Pembaca adalah penikmat karya sastra. Pengarang menulis karya sastra tentunya untuk dibaca, untuk dinikmati oleh orang lain. Dari sudut pandang ini, teori pragmatik dan pendekatan pragmatik digunakan dalam mempelajari karya sastra, yaitu penekanan pada aspek pembaca sebagai penikmat karya sastra.
A. Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra, mengemukakan bahwa Abrams telah berhasil meletakkan kerangka dasar teori sastra. Dengan keempat kerangka dasar ini penelitian terhadap karya sastra dapat menggunakan teori yang lebih terarah dan sistematis. Dalam pengkajian karya sastra, keempat pendekatan ini merupakan pendekatan yang mendasar, yang merupakan dasar dari berbagai pendekatan lainnya yang berkembang sekarang ini.
Di sisi lain, Rahman Selden (l985: X), dalam Yoseph Yapi Taum, juga mengklasifikasikan teori sastra berdasarkan atas kerangka diagram komunikasi linguistik Roman Jacobson. Skema komunikasinya adalah sebagai berikut.
Konteks
Pengirim Pesan Pendengar Hubungan
Kode
Sama halnya dengan Abrams, masing-masing komponen merupakan dasar teori untuk mempelajari karya sastra. Bagi Selden, karya sastra memuat pesan, hubungan, kode yang disampaikan pengirimnya (pengarangnya). Pendengar adalah orang yang menerima pesan tersebut sebagai penikmat karya sastra. Setiap pembicaraan dari pengirim ada konteksnya, ada situasi berbahasa yang dikemukakan, ada realita dalam pembicaraan. Pembicaraan tentang karya sastra tergantung kepada dari sudut mana akan dilihat karya itu.
Contoh:
Salah satu contoh penggunaan teori sastra dalam mengkaji karya sastra dapat Anda ikuti dalam uraian berikut.
Berhadapan dengan Chairil Anwar kita berhadapan dengan sebuah pribadi yang kompleks. Sesuatu yang kompleks biasanya sangat menarik untuk diselidiki. Setiap kali pandang kita akan dihadapkan pada sesuatu yang baru, yang mungkin belum pernah kita temukan pada pandanganpandangan sebelumnya. Karenanya kita merasa tidak pernah jemu melakukannya, sebab setiap kali kita menghadapi karyanya kali itu pula akan kita peroleh warna-warna baru yang mengasyikkan. Begitu pula halnya tentang penyair ini.
S. Suharianto, Berkenalan dengan Cipta Seni
Pada kutipan tersebut penulis melihat karya sastra dari sudut karya sebagai hasil ciptaan pengarang, sebagai ekspresi pengarang. Sekaligus dia menggunakan pendekatan ekspresif dalam pengkajian puisi Chairil Anwar. Dengan mempelajari puisi-puisi Chairil Anwar seakan-akan terlihat kekompleksan pribadinya. Semakin dibaca karyanya semakin ditemukan warna-warna baru yang mengasyikkan di dalamnya. Pernahkah Anda mengalami hal serupa seperti yang diungkapkan penulis di atas? Jika belum lakukanlah hal yang sama dan Anda akan mengalami kebenaran yang penulis ungkapkan di atas.
B. KRITIK SASTRA
Kritik sastra adalah bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang sering digunakan para pengkaji sastra untuk hal yang sama ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menghindari kata kritik yang terkesan negatif, terkesan menghakimi. Tampaknya masyarakat kita masih belum terbuka hati dengan kata kritik. Kata kritik dianggap kata yang bermakna negatif karena menilai sesuatu dari sisi kekurangan dan kelemahannya, menghakimi seseorang atas kekurangannya sehingga orang yang dihakimi tidak dapat berkembang. Kata kritik dianggap sebagai suatu yang destruktif, bermakna tajam, dan menjatuhkan seseorang. Padahal sebenarnya pengertian kritik sastra tidaklah demikian. Seseorang yang terbuka hatinya untuk dikritik dia akan merasa bahwa dengan dikritik dia akan memperoleh masukan tentang kekurangan atau kelemahannya, bahkan juga keunggulannya. Dengan demikian ia akan berusaha memperbaiki kekurangan dan kelemahannya sehingga karyanya akan menjadi lebih baik dan ia akan menjadi orang yang sukses dalam bidangnya. Demikian halnya dengan pengertian kritik, khususnya dalam kritik sastra.
Menurut H.B. Yasin, kata kritik dalam kritik sastra bermakna pertimbangan baik buruknya suatu karya sastra, pertimbangan kelemahan dan keunggulan karya sastra. Melalui kritik sastra, penulis akan mengembangkan dirinya menjadi penulis yang menyadari kelemahan dan sekaligus keunggulan dirinya dalam menghasilkan karya sastra. Demikian juga Andre Hardjana (1981) mendefinisikan kritik sastra sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran secara sistemik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Kata ‘pembaca’ di sini ditekankan karena kritik sastra bukanlah hasil kerja yang luar biasa dari penulisnya yang dapat disetarakan dengan penulis karya sastra itu sendiri. Setiap pembaca dapat saja membuat kritik terhadap karya sastra yang dibacanya tetapi belum tentu ia dapat masuk ke dalam nilai-nilai hakiki karya sastra tersebut kalau dia tidak mendalami dan menilai pengalaman kemanusiaan yang terdapat di dalamnya.
Dengan pengertian seperti itu, lambat laun kata kritik dalam pengertian kritik sastra digunakan secara meluas. Apalagi dengan terbitnya buku Analisis yang dilaksanakan oleh H.B. Yasin, serta buku Kritik dan Esei Kesusastraan Indonesia, buku yang memuat kritik dan ulasan cerpen dan novel-novel Indonesia yang banyak digunakan kalangan akademisi, menyebabkan istilah kritik sastra digunakan secara meluas sebagai bagian dari ilmu sastra.
Semi (1984), mengemukakan bahwa istilah kritik sastra telah mengalami usia yang cukup panjang. Dalam bahasa Yunani, istilah ini telah dikenal pada tahun 500 sM, yaitu krinein yang berarti menghakimi, membanding, dan menimbang. Kata ini menjadi dasar kata kreterion, yang berarti dasar, pertimbangan, penghakiman. Orang yang melaksanakan pertimbangan, penghakiman, disebut krites yang berarti hakim. Dari kata krites inilah istilah kritik digunakan sampai sekarang. Orang yang melakukan kritik terhadap karya sastra disebut kritikus sastra.
Kegiatan kritik sastra pertama kali dilakukan oleh bangsa Yunani yang bernama Xenophanes dan Heraclitus. Mereka mengecam pujangga Yunani yang bernama Homerus yang gemar menceritakan kisah dewa-dewi. Para pujangga Yunani menganggap karya-karya Homerus tentang kisah dewadewi tidak baik dan bohong. Peristiwa kritik sastra ini diikuti oleh kritikuskritikus berikutnya di Yunani seperti Aristophanes( 450-385 sM), Plato (427347 sM), dan Aristoteles murid Plato (384-322 sM).
Buku tentang kritik sastra yang dianggap cukup lengkap dan merupakan sumber pengertian kritik sastra modern ialah karya Julius Caesar Scaliger (1484-1585) yang berjudul Criticus. Di dalamnya memuat tentang perbandingan antara pujangga-pujangga Yunani dan Latin dengan titik berat kepada pertimbangan, penyejajaran, dan penghakiman terhadap Homerus. Kemudian muncul pula istilah criticism yang digunakan penyair Jhon Dryden (Inggris, 1677). Semenjak itu istilah criticism lebih banyak digunakan dari pada istilah critic karena dianggap memiliki pengertian yang lebih fleksibel.
Di Indonesia istilah kritik sastra secara akademis baru dikenal pada sekitar awal abad kedua puluh setelah para sastrawan memperoleh pendidikan sastra di negara barat. Tetapi bukan berarti belum pernah terjadi kritikan terhadap karya pujangga pada masa sebelumnya. Dibakarnya syairsyair Nuruddin Ar-Raniri yang memuat ajaran mistik yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dilarangnya beredar buku sastra suluk Jawa, Kitab Darmagandul dan Suluk Gatoloco, juga karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, serta dilarangnya beredar buku-buku sastra oleh pemerintah karena dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan negara, membuktikan bahwa kegiatan kritik sastra telah pernah ada sebelumnya. Tentunya kegiatan kritik sastra seperti itu tidak dapat digolongkan ke dalam kritikan sastra dalam arti yang sesungguhnya karena tidak berbentuk tulisan dan tidak menggunakan sistematika kritik sastra.
Adanya kriteria yang digunakan dalam kritik sastra dimaksudkan agar hasil dari kritikan tersebut merupakan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan dan bukan hanya bersifat pendapat pribadi. Dari penilaian yang bersistem dan berkriteria diharapkan mutu karya sastra yang dikritik secara keseluruhan menjadi lebih baik, dan bagi penulisnya merupakan suatu masukan untuk memperbaiki penulisannya dan merasa ditantang untuk menghasilkan karyanya lebih baik lagi.
Sekarang, dalam dunia kesusastraan sudah mulai muncul budaya penulis untuk dikritik hasil karyanya. Di kota-kota besar para sastrawan telah mulai melakukan bedah buku untuk melihat kelemahan dan keunggulan karyanya. Dengan mengundang para kritisi sastra, bersama dengan penerbitnya, mereka menggelar acara bedah buku atau telaah buku yang ditulisnya. Dengan demikian, forum ini di samping berfungsi sebagai arena telaah bukunya juga berfungsi sekaligus sebagai promosi bukunya yang baru terbit. Dari sisi ini terlihat bahwa budaya dikritik sudah mulai berterima di kalangan masyarakat sastra.
Untuk membuat suatu kritik yang baik, tentunya diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra. Dengan demikian kritikan yang diberikan terhadap suatu karya sastra menjadi kritikan yang bermakna bagi pengembangan karya sastra itu sendiri.
Contoh:
Salah satu contoh kritik sastra dapat Anda baca pada kutipan kritik HB. Yasin dalam bukunya analisis terhadap cerita pendek Rijono Pratiknjo yang berjudul Kepanjangannya berikut ini.
Rijono telah berhasil menambat hati pembaca dan menimbulkan rasa ngeri sampai akhir cerita. Daya penambat inilah kekuatan Rijono Kita pun percaya bahwa banyak kerahasiaan di balik kehidupan kita yang lahir ke dunia ini. Tapi setelah dikatakannya bahwa apa yang diceritakannya hanyalah mimpi, kita pun merasa kecewa dan tertipu. Inilah yang saya anggap sebagai kekurangan dalam cerita ini. Kita tidak keberatan terhadap irealisme, tetapi irealisme yang tulen.
HB. Yasin, Analisis Sorotan atas Cerita Pendek
Di dalam kritik HB. Yasin terhadap cerita pendek Rijono Pratiknjo, terlihat kata-kata pertimbangan yang digunakan HB. Yasin secara bergantian untuk menyatakan keunggulan dan kelemahan penulis dalam menulis cerpennya. Untuk menyatakan keunggulan penulis dia menggunakan ungkapan ‘Rijono berhasil menambat hati pembaca’, ‘Daya penambat inilah kekuatan Rijiono’. Untuk menyatakan kelemahan penulis ia pun mengemukakan, ‘ Kita merasa kecewa dan tertipu’, ‘ Inilah yang saya anggap sebagai kekurangan dalam cerita ini’. Kita tidak keberatan dengan irealisme, tetapi irealisme yang tulen. Gaya HB Yasin dalam mengemukakan kritik terhadap cerpen Rijono prakteknya antara memuji dan menyatakan kelemahan dikemukakan dengan halus dan bergantian sehingga penulis merasa bahwa ia tidak dikritik melainkan diberikan masukan dengan cara halus sehingga tidak timbul kesan bahwa kritikan menghakimi atau mencela hasil karyanya, bahkan ia merasa bahwa hasil tulisannya mendapat tanggapan yang baik oleh kritikus sastra sebagai bahan untuk perbaikan selanjutnya.
C. SEJARAH SASTRA
Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Dengan mempelajari sejarah sastra, kita dapat mengetahui perjalanan sastra dari waktu ke waktu sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa.
Tugas sejarawan sastra bukan hanya sekadar mencatat, dan menginventarisasi karya sastra, tetapi tugasnya lebih dari itu. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, ia harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik, periode-periode yang memuat karya-karya sastra, serta masalah lainnya yang menyangkut masalah sastra. Oleh karena itu, dalam mempelajari sejarah sastra tidak lepas dari teori dan kritik sastra.
Sejarah sastra mempunyai ruang cakupan yang cukup luas. Ada sejarah sastra suatu bangsa, ada sejarah sastra suatu daerah, ada sejarah sastra suatu kesatuan kebudayaan, ada pula sejarah berdasarkan jenis (genre) sastra, ada pula sejarah sastra komparatif. Sejarah sastra suatu bangsa, misalnya Sejarah Sastra Indonesia, Sejarah Sastra Cina, Sejarah Sastra Amerika; Sejarah sastra daerah, misalnya Sejarah Sastra Bugis, Sejarah Sastra Sunda; Sejarah sastra suatu kebudayaan, misalnya Sejarah Sastra Klasik, Sejarah Sastra Romantik, Sejarah Sastra Renaissance, Sejarah Sastra Melayu, Sejarah Sastra Modern, Sejarah sastra berdasarkan genre sastra adalah Sejarah Perkembangan Puisi, Sejarah Perkembangan Novel, Sejarah Perkembangan Drama. Sejarah sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang mengkaji dan membandingkan beberapa karya sastra pada masa lalu, masa pertengahan, dan masa kini. Yang dikaji dan dibandingkan bisa meliputi karya sastra antarnegara, atau karya sastra dalam satu negara.
Contoh:
Sebagai salah satu contoh sejarah sastra komparatif dapat Anda ikuti berikut ini!
Indonesia sebagai negara yang banyak suku bangsa dan ragam budayanya memiliki cerita rakyat yang hampir sama temanya, misalnya dongeng tentang asal mula padi sebagai makanan pokok bangsa Indonesia. Di berbagai daerah di Indonesia cerita ini menyebar dan dapat dibandingkan sehingga ditemukan kesamaan dan perbedaan jalan ceritanya. Walaupun terdapat kesamaan tema tetapi terdapat perbedaan dalam isi (pengembangan) cerita. Cerita-cerita rakyat yang memiliki kesamaan tema ini merupakan peristiwa sejarah sastra Nusantara yang memperlihatkan kesatuan budaya yang melandasi kehidupan bangsa kita.
Pengkajian sejarah sastra di Indonesia belum banyak dilakukan. Teeuw (1984), mengatakan bahwa sudah terdapat beberapa buku tentang pengkajian sejarah sastra Indonesia, tetapi pengkajian tersebut belum dapat memuaskan dari sudut teori sastra. Menurut Teeuw, pengkajian sejarah sastra hendaklah bertolak dari berbagai cara yang dapat membantu peneliti dalam meneliti sejarah sastra sehingga menghasilkan sejarah sastra yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selanjutnya Todorov (1985) mengemukakan bahwa tugas sejarah sastra adalah meneliti keragaman setiap kategori sastra, meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun sinkronis, serta menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari suatu masa ke masa berikutnya. Tugas yang dilakukan oleh sejarawan sastra tidak terlepas dari hasil kritik sastra yang dilakukan peneliti sastra. Dari hasil kritik sastralah sejarawan sastra dapat menggolong-golongkan karya sastra sesuai dengan kategorinya.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi. S. (1982). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.
Fananie, Zainuddin. (1982). Telaah Sastra Surakarta: Muhamadiyah University Press.
Luxemburg, et.al. (1982). Pengantar Ilmu Sastra.Terjemahan Dick Hartoko.Jakarta: Gramedia.
Mido, Frans. (1982). Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Ende, Flores: Nusa Indah 1994.
Semi Atar M. (1992). Anatomi Sastra. Bandung: Rosda Karya.
Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja RosdaKarya.
Suyitno. Sastra. (1986). Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.
Tarigan Guntur H. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Tjahjon Libertus, T. (1986). Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende, Flores:Nusa Indah.
Waluyo, Herman. (1986). Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS.
Wellek & Warren A. (1986). Teori Kesusastraan (DiindonesiakanMelami Budianta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar