Nama : Aurel Gracia
Nim : 22016014
Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.
Sesi(08.50-12.20)
A. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Diperjelas oleh Hasanudin (Abidin 2010: 75) “pendekatan objektif merupakan pendekatan yang mengutamakan penyelidikan karya sastra berdasarkan kenyataan teks sastra itu sendiri”.
Pendekatan Objektif adalah pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom, karena tulisan ini mengarah pada analisis karya sastra secara strukturalisme. Sehingga pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif. Semi (1993:67) menyebutkan bahwa pendekatan struktural dinamakan juga pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. Strukturalisme berpandangan bahwa untuk menikmati karya sastra secara objektif harus berdasarkan pemahaman terhadap teks karya sastra itu sendiri. Proses menganalisis diarahkan pada pemahaman terhadap bagian-bagian karya sastra dalam menyangga keseluruhan, dan sebaliknya bahwa keseluruhan itu sendiri dari bagian-bagian (Sayuti, 2001; 63). , Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Mengacu istilah Teeuw (1984:134), jadi yang penting hanyaclose reading , yaitu cara membaca yang bertitik tolak dari pendapat bahwa setiap bagian teks harus menduduki tempat di dalam seluruh struktur sehingga kait-mengait secara masuk akal (Pradotokusumo, 2005 : 66 ).
Suwondo (2001:55) berpendapat memahami sastra strukturalisme berarti memahami karya sastra dengan menolak campur tangan dari luar. Jadi memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur yang membangun struktur. Dengan demikian struktur analisis bermaksud memaparkan dengan cermat kaitan unsur-unsur dalam sastra sehingga menghasilkan makna secara menyeluruh. Rene Wellek (1958 : 24) menyatakan bahwa analisis sastra harus mengedepankan aspek intrinsik. Senada dengan pendapat tersebut Culler memandang bahwa karya sastra bersifat otonom yang maknanya tidak ditentukan oleh hal di luar karya sastra itu (Culler, 1977:127). Istilah lainnya anti kausal dan anti balas historis (Djojosuroto, 2006:35).
Analisis karya sastra dengan pendekatan strukturalisme memiliki berbagai kelebihan, diantaranya
(1) pendekatan struktural memberi peluang untuk melakukan telaah atau kajian sastra secara lebih rinci dan lebih mendalam
(2) pendekatan ini mencoba melihat sastra sebagai sebuah karya sastra dengan hanya mempersoalkan apa yang ada di dalam dirinya,
(3) memberi umpan balik kepada penulis sehingga dapat mendorong penulis untuk menulis secara lebih berhati-hati dan teliti (Semi, 1993: 70).
Selain memiliki beberapa kelebihan, pendekatan ini juga mengandung berbagai kelemahan. Secara terinci Teeuw menjelaskan empat kelemahan strukturalisme murni, yakni:
1) strukturalisme belum terpahami mengungkapkan teori sastra yang lengkap,
2) karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing dan harus dalam suatu sistem satra dengan latar belakang sejarahnya,
3) adanya unsur tujuan dalam karya sastra disangsikan karena pembaca cukup dalam turut memberi makna,
4) menemukan puisi yang menitikberatkan otonomi puisi menghilangkan konteks dan fungsinya sehingga puisi dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya (Teeuw, 1984 : 176).
B.Penerapan Pendekatan Objektif
Pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam bidang puisi (Jefferson, 1982:84) Tulisan ini pun bermaksud menerapkan pendekatan tujuan dalam menganalisis puisi. Dalam lingkup puisi, Pradopo (2000: 14) menguraikan bahwa karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Mengacu pendapat Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, Rene Wellek dalam Pradopo (2000:14) menguraikan norma-norma itu , yaitu
(1) lapis bunyi ( sound stratum ), misalnya bunyi suara dalam kata, frase, dan kalimat, (2) lapis arti ( satuan makna), misalnya arti dalam fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat,
(3) lapis objek, misalnya objek-objek yang dikemukakan seperti latar, pelaku, dan pengarang dunia.
Selanjutnya Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi
(1) lapis dunia
(2) lapis metafisis.
Waluyo (1987: 145) menjelaskan, struktur puisi dibangun oleh fisik (metode pengucapan makna) dan struktur batin (makna) puisi.Secaraederhana, penerapan pendekatan tujuan dalam menganilis karya sastra dalam hal ini Puisi , dapat diformulasikan sebagai berikut . Pertama, mendeskripsikan unsur-unsur struktur karya sastra. Kedua, mengkaji keterkaitan makna antara unusr -unsur yang satu dengan lainnya. Ketiga,mendeskripsikan fungsi serta hubungan antar unsur (intrinsik) karya yang bersangkutan .
Adapun langkah-langkah menelaah puisi dapat melalui tahap-tahap yang dikemukakan oleh Waluyo (1987: 146), tahap:
1) menentukan struktur karya sastra,
2) menentukan penyair dan kenyataan sejarah, 3) menelah unsur-unsur, dan
4) sintesis dan interpretasi .
Dengan empat tahap tersebut, puisi diharapkan dapat dipahami sebagai struktur dan sebagai suatu pribadi yang bulat dan utuh. Sejalan dengan itu Djojosuroto (2006:60) mengemukakan analisis strategi pemahaman puisi. Strategi tersebut dimulai dengan :
1) pemahaman makna kata,
2) pemahaman baris dan bait, dan
3) pemahaman totalitas makna.
C.Pendekatan Mimetik
Semi (1985:43) menuliskan bahwa pendekatan mimetik bertolak dari pemikiran bahwa sastra -sebagaimana hasil seni yang lain- merupakan pencerminan atau representasi kehidupan nyata. Sastra merupakan tiruan atau pemaduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarang atau hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan. Jika berbicara tentang teori
Mimetik, kita tidak dapat terlepas dari pengaruh dua orang filsuf besar dari Yunani, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni hanyalah tiruan alam yang nilainya jauh di bawah realitas sosial dan ide, sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia. Sementara, Aristoteles sebagai murid dari Plato berbeda pendapat. Aristoteles menganggap karya seni adalah berada di atas kenyataan karena karya seni sebagai katalisator untuk menyucikan jiwa manusia.
Menurut Abrams pendekatan mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif, pendekatan mimetik adalah pendekatan yang memandang prosa fiksi sebagai hasil ciptaan manusia yang ditulis berdasarkan bahan-bahan yang diangkat dan semesta. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia.
Teori mimetik adalah pendekatan-pendekatan estetik dalam studi sastra yang paling sederhana dan kuno, karena adanya diskusi yang diadakan oleh filosof Plato dengan murid-muridnya pada lebih darii 2000 tahun yang lalu, kemudian ditentang muridnya Aristoteles. Dalam diskusi Plato tersebut dipaparkan secara panjang lebar hubungan dunia kenyataan dengan puisi. Hubungan antara karya sastra dalam makalah ini dengan dunia kenyataan sangatlah kompleks. Hal ini sesuai pendapat Teeuw (1984:219) yang menyatakan, kehidupan nyata selain dengan terkait ilmu sastra, juga terkait dengan maslah filsafat, psikologi, sosiologi, dan lain sebagainya. Peristiwa mimetik sebuah karya sastra ini juga dipertegaskan oleh Wellek dan Warren (1989:109), yang mengatakan sifat sastra memang menyajikan sebagian besar tentang kehidupan, sementara itu kehidupan dunia nyata merupakan keadaan sosial masyarakat. Jadi ada faktor tiruan terhadap keadaan sosial dunia nyata dalam karya sastra.
1.Pandangan Aristoteles mengenai mimetik
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi. Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuau yang Lisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dan nafsu rendah penikmatnya.
2.Pandangan Plato mengenai mimesis
Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana
pandangannya mengenai seni. Menurut pandangan Plato, segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam dunia gagasan, ada gagasan mengenai manusia, semua manusia yang ada di dunia ini (manusia nyata) adalah tiruan dari manusia yang ada di dunia gagasan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Septiaj, Aji, Sefia, yayah, Ayum. (2018). Kritik Sastra Mimetik. Jurnal pendidikan Vol. 2 No. 1 Februari 2018.
Teeuw.A. 1984. Satra dan Ilmu Satra . Jakarta: Pustaka Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar