Jumat, 30 September 2022

Genre Sastra Modern

 Nama  : Aurel Gracia

Nim      : 22016014

Prodi    : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.

Sesi(08.50-12.20)


A. Genre sastra modern 

    Genre sastra mengacu pada klasifikasi berdasarkan kelompok atau kategori dari karya sastra yang berbeda. Sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalamu Suatu lingkungan kebudayaan.

Sepanjang sejarah, genre sastra tidak selalu sama, bahkan tidak ada karya yang memiliki genre yang sama seperti sekarang. Namun, klasifikasi tersebut telah dipertahankan untuk beberapa waktu. Dengan satu peringatan: dimasukkannya nomor jenis kelamin, nomor didaktik.

Dengan demikian, saat ini kita dapat mengatakan bahwa ada tiga kelompok besar yang sangat penting yang telah lama melingkupi karya-karya tersebut, yaitu naratif, liris, dan dramatis. Tak lama kemudian, genre didaktik dimasukkan.

Aristoteles adalah orang menciptakan genre sastra. Referensi pertama, dan juga klasifikasi pertama genre sastra berasal dari Aristoteles. Secara khusus, dalam karyanya La Poética, ia berbicara tentang tiga jenis genre: naratif, liris, dan dramatis. 

kita dapat menyebut beberapa ciri yang selalu muncul kembali.

a) Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi.seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta Sang ini, bahkan menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan.    

b) Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain.Sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri.

c) Sastra mengungkapkan yang tak terungkap.Oleh puisi dan bentuk-bentuk sastra lainnya ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi. Dalam sebuah teks sastra kita jumpai dengan sederetan arti yang dalam bahasa sehari-hari tak dapat diungkapkan

B.Jenis genre sastra

Genre naratif 

 Genre naratif asli dan yang sekarang tidak sama. Dahulu, genre naratif dikenal sebagai genre di mana peristiwa legendaris diceritakan, sering kali mencampurkan dialog dan deskripsi, dan yang diucapkan lebih umum daripada yang tertulis

Novel adalah salah satu subkelompok genre sastra yang paling dikenal di seluruh dunia. Ini adalah narasi di mana cerita yang kurang lebih panjang diceritakan, di mana karakter yang berbeda memasuki adegan dan di mana, pada gilirannya, Anda dapat menemukan tema yang berbeda: polisi, paranormal, romantis ..

Cerita

Dalam kasus cerita, kita berbicara tentang a narasi pendek, yang dapat didasarkan pada sesuatu yang nyata atau membuat cerita yang tidak nyata. Ini memiliki sedikit karakter dan pengembangan yang sangat mendasar dan sederhana. Dan bahkan jika Anda berpikir bahwa ini berfokus pada anak-anak, kenyataannya tidak

Fabula

Fabel, seperti halnya cerita, juga merupakan cerita pendek, biasanya yang karakternya adalah hewan atau serial yang digabungkan dengan manusia (misalnya, hewan yang berperilaku seperti manusia)

Leyenda

Ini adalah narasi nyata yang mulai dihiasi dengan elemen-elemen fantastis, sehingga memperoleh cerita dengan sapuan kuas paranormal, atau tidak realistis, tetapi menikah dengan sangat baik sehingga menjadi populer dan menjadi sesuatu yang dipercaya. Nyatanya, terkadang banyak orang bisa membuktikan kebenarannya

Mitos

Sementara itu, mitos juga dapat dikonseptualisasikan sebagai a cerita luar biasa tentang karakter, tetapi mereka hampir selalu fokus pada dewa atau pahlawan kuno, mitos saat ini tidak banyak. Ini ditandai dengan mengubah kebenaran, terutama dalam hal karakter, untuk memujinya atas orang lain dalam cerita

Epik

Sebuah narasi epik mencoba menceritakan petualangan seorang pahlawan, atau beberapa, dan pertempuran di mana dia berpartisipasi, meskipun dalam kenyataannya mereka tidak harus benar, tetapi membuat orang berpikir bahwa itu benara Dlam kasus epik, mirip dengan yang di atas, tetapi berbeda dari ini karena karakter yang disajikan bukanlah "manusia normal", melainkan kita berbicara tentang karakter mitologis, dewa atau dewa


Dua contoh yang jelas dari literatur adalah Iliad atau The Odysse

Nyanyian perbuat

Berfokus pada menceritakan kisah petualangan, pertempuran, dll. dari seorang ksatria Abad Pertengahan. Salah satu yang paling terkenal adalah El Cantar de mio Cid.

Liris

Pindah ke genre liris, ini adalah kelompok besar kedua dari genre sastra dan di dalamnya Anda akan menemukan dua subkelompok: kuno dan modern.

Genre liris mengacu pada sastra di mana penulis harus mengungkapkan perasaan, sensasi, emosi, dll. kepada orang yang membaca atau mendengarkannya. Oleh karena itu, cenderung lebih puitis (karenanya subgenre yang paling terkenal adalah puisi).

Subgenre liris kuno

Diantaranya adalah:

  • Oda
  • Elegi
  • Sindiran
  • Lirik paduan suara
  • Lagu
  • Lagu kebangsaan
  • Eclogue
  • Epigram
  • Roman
Subgenre liris modern

Selain hal-hal di atas, semuanya puisi dengan tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, dua bentuk genre liris baru telah diperkenalkan, yaitu sebagai berikut:

  • Sonet. Hal ini ditandai dengan dibentuknya empat belas syair, hendecasyllables, dan dengan sajak konsonan. Selain itu, mereka harus dibagi menjadi dua kuartet dan dua kembar tiga.
  • Sajak pendek tentang cinta. Ini adalah puisi lirik pendek yang, hampir selalu, bernada romantis, dan berfokus pada seorang wanita, menggabungkan ayat 11 dan 7 suku kata.

Genre drama atau teater

Genre dramatis, juga dikenal sebagai genre teater, bertujuan untuk itu mewakili bagian dari cerita karakter melalui dialog, bukan deskripsi. Meski tertulis, tujuan akhir dari sebuah karya teater adalah untuk diwakili oleh pemirsa, sehingga menjadi visual dan auditori, bukan tekstual.

Dalam genre ini Anda dapat menemukan subgenre sastra berikut:

  • Tragedi
  • Komedi
  • Drama / Tragikomedi
  • Sandiwara sensasi
  • Lelucon

Terakhir, genre didaktik. Ini adalah satu-satunya yang tidak dirujuk Aristoteles dalam karyanya, dan muncul beberapa tahun kemudian untuk mencakup karya-karya yang memiliki arti pendidikan atau, seperti tersirat dari namanya, didaktik.

Dalam pengertian ini, subgenre yang dapat ditemukan dalam grup besar ini adalah sebagai berikut:

  • Uji
  • Biografi
  • Kronik
  • Memori tertulis
  • Oratory
  • Surat atau surat
  • Perjanjian
  • Fabula
  • Novel didaktik
  • Diálogo
  • Puisi didaktik
C.KARAKTERISTIK TEKS SASTRA
1) Sastra memiliki tafsiran mimesis
artinya sastra yang diciptakan harus mencerminkan kenyataan atau dapat dikatakan sastraitu karya seni yang lahir berdasarkan pemikiran, pengalaman pribadi, semangat dan keyakinan dalam diri manusia lalu diapresiasikan melalui tulisan yang melalui makna bahasa
yang indah.
2) Sastra harus memiliki manfaat
Artinya dalam menciptakan sastra, sastra tersebut harus memiliki manfaat bagi para
penikmatnya. Suatu sastra akan memiliki kesan tersendiri apabila memiliki manfaat.
3) Adanya unsur fiksionalitas dalam sastra
Unsur fiksionalitas adalah cerminan kenyataan. Artinya karya sastra yang tidak dibuat-buat, karena karya sasta yang lahir dari sebuah kenyataan mengandung nilai seni yag tinggi,
memiliki makna dari kehidupan yang nyata.
4) Pemahaman bahwa karya sastra merupakan sebuah karya seni
Jadi adanya karakteristik sebagai seni kita dapat membedakan karya yang termasuk sastra dan bukan sastra.
Setelah memahami dari 4 karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa sastra harus
bertumpu pada kenyataan, karena sastra bagian dari masyarakat. Hal ini mengidentifikasikan
bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki tanda-tanda yang kurang lebih
sama dengan norma adat atau kebiasaan yang lahir bersamaan dengan hadirnya sebuah
karya sastra.

Bahan baku tekas sastra

Seorang pengarang atau sastrawan dalam pembuatan karya sastra Juga perlu
mengolah bahan baku untuk menghasilkan karya sastra. bahan baku karya sastra adalah
bahasa. Sastrawan mengolah bahasa agar menjadi indah dan bernilai seni. Sebab,
keindahan itulah yang menyebabkan karya sastra disebut karya seni, yaitu seni sastra.
Cara sastrawan menggunakan bahasa untuk menulis karya sastra berbeda dengan
cara penulis lain untuk menghasilkan karya ilmiah. Penulis karya ilmiah bertujuan
menyampaikan gagasan kepada pembaca. Karena itu, kata-kata yang dipilih dalam
rakitan kalimatnya dibuat sedemikian rupa agar pembaca karya ilmiah dapat cepat
menangkap dan memahami gagasan penulis. Lain halnya dengan sastrawan. Sastrawan
menulis bukan hanya untuk menyampaikan gagasan kepada pembaca, melainkan juga
menyampaikan perasaannya.

DAFTAR PUSTAKA 

Akidah, Situ Nur. (2016). karya sastra modern dan klasik. (Online) http://sitinurakidah311.blogspot.com/2016/03/karya-sastra-modern-dan-klasik.html -diunduh 30 September 2022).

Arcoya, encarni.(2010) genre sastra: apa itu dan apa yang ada dalam sastra | sastra saat ini(online)https://www.actualidadliteratura.com/id/genre-sastra/amp/?_gl=1*1aa3001*_ga*YW1wLUVDQmg1VHFlUEVGeWQycWdENmxlZ01NSXpoNXd6X3hXTldjUzQ2dDNPSHdZdWdFejYxNjNEN0tDRGNIeWRTcTY-diunduh pada 30 September 2022)


Kamis, 22 September 2022

Teori Sastra, Kritik Sastra dan Sejarah Sastra

 Nama : Aurel Gracia

Nim : 22016014

Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.

Sesi(08.50-12.20)


A. TEORI SASTRA
        Kata teori sastra berasal dari dua kata, yaitu kata teori dan kata sastra.
Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya(diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut.
       Karya sastra bukanlah karya yang ilmiah yang dapat dirunut kebenaran faktualnya sebagaimana merunut kebenaran berita surat kabar tentang peristiwa tertentu, atau merunut berita yang diceritakan seseorang tentang kejadian tertentu. Kebenaran pada karya sastra bukanlah kebenaran yang bersifat faktual tetapi kebenaran yang bersifat kemanusiaan. Sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi personal sekaligus dimensi sosial. Dalam sastra, pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan itu secara fundamental mengandung gagasan estetis yang menimbulkan rasa indah, senang, dan menggugah hati. Dengan membaca karya sastra kita diperkenalkan kepada kekayaan-kekayaan batin yang memungkinkan kita mendapatkan insight, persepsi, dan refleksi diri sehingga kita dapat masuk ke dalam pengalaman nyata hidup kita. Teori sastra adalah ilmu yang mengungkapkan tentang sastra sebagai karya yang memuat pengalaman batin manusia.
Teori sastra sudah banyak ditulis orang. Masing-masing teori berkembang sesuai dengan sudut pandang yang berbeda. M.H. Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition mencoba membanding-bandingkan model-model teori sastra yang telah banyak ditulis, dan menyimpulkan bahwa teori-teori tersebut beraneka ragam, bahkan mengacaukan. Untuk mempelajari karya sastra, dia mencoba melihat situasi sastra dalam konteks keseluruhan, sebagai suatu keutuhan. Diagram yang dikemukakannya dalam melihat konteks sastra sebagai berikut.
           Artist (pencipta) Audience (pembaca)
Dalam diagramnya yang memuat konteks situasi sastra tersebut sekaligus terlihat teori dan pendekatan yang dilakukan dalam meneliti karya sastra. Menurut Abrams, ada empat komponen utama yang sekaligus merupakan sudut pandang dalam mempelajari karya sastra. Keempat sudut pandang itu ialah sebagai berikut.
1. Universe (realita kehidupan) sebagai objek faktual karya sastra. Karya sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat. Di dalam karya sastra ditemukan fenomena kehidupan nyata yang karenanya menimbulkan insight, kesan yang dalam bagi pembacanya. Karya sastra merupakan mimesis kehidupan. Dari sudut pandang ini, teori mimesis dan pendekatan mimesis merupakan teori dan sekaligus pendekatan yang digunakan dalam mengkaji karya sastra,
2. Work (karya sastra itu sendiri) sebagai suatu objek yang dipelajari. Karya sastra sebagai suatu karya yang telah dihasilkan penulisnya memiliki struktur sendiri yang membangun keutuhan dirinya. Sebagai suatu karya ia telah terlepas dari pengarangnya. Dari sudut pandang ini, teori dan pendekatan struktural, atau pendekatan objektif merupakan teori dan pendekatan yang digunakan dalam mempelajari karya sastra,
3. Artist (pencipta karya sastra). Sebagai seorang pengarang yang menghasilkan karya sastra dia berangkat dari berbagai ide, pemikiran, perasaan, pandangan, gagasan serta hal lain yang menyebabkan ia akhirnya menulis karya sastra. Ia mengekspresikan segala yang terdapat di dalam dirinya ke dalam bentuk karya sastra. Dari sudut pandang ini, teori ekspresif dan pendekatan ekspresif merupakan teori dan pendekatan yang digunakan dalam mempelajari karya sastra, dan
4. Audience (pembaca). Pembaca adalah penikmat karya sastra. Pengarang menulis karya sastra tentunya untuk dibaca, untuk dinikmati oleh orang lain. Dari sudut pandang ini, teori pragmatik dan pendekatan pragmatik digunakan dalam mempelajari karya sastra, yaitu penekanan pada aspek pembaca sebagai penikmat karya sastra.

A. Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra, mengemukakan bahwa Abrams telah berhasil meletakkan kerangka dasar teori sastra. Dengan keempat kerangka dasar ini penelitian terhadap karya sastra dapat menggunakan teori yang lebih terarah dan sistematis. Dalam pengkajian karya sastra, keempat pendekatan ini merupakan pendekatan yang mendasar, yang merupakan dasar dari berbagai pendekatan lainnya yang berkembang sekarang ini.
Di sisi lain, Rahman Selden (l985: X), dalam Yoseph Yapi Taum, juga mengklasifikasikan teori sastra berdasarkan atas kerangka diagram komunikasi linguistik Roman Jacobson. Skema komunikasinya adalah sebagai berikut.
                          Konteks
   Pengirim Pesan Pendengar Hubungan
Kode
Sama halnya dengan Abrams, masing-masing komponen merupakan dasar teori untuk mempelajari karya sastra. Bagi Selden, karya sastra memuat pesan, hubungan, kode yang disampaikan pengirimnya (pengarangnya). Pendengar adalah orang yang menerima pesan tersebut sebagai penikmat karya sastra. Setiap pembicaraan dari pengirim ada konteksnya, ada situasi berbahasa yang dikemukakan, ada realita dalam pembicaraan. Pembicaraan tentang karya sastra tergantung kepada dari sudut mana akan dilihat karya itu.
Contoh:
Salah satu contoh penggunaan teori sastra dalam mengkaji karya sastra dapat Anda ikuti dalam uraian berikut.
 Berhadapan dengan Chairil Anwar kita berhadapan dengan sebuah pribadi yang kompleks. Sesuatu yang kompleks biasanya sangat menarik untuk diselidiki. Setiap kali pandang kita akan dihadapkan pada sesuatu yang baru, yang mungkin belum pernah kita temukan pada pandanganpandangan sebelumnya. Karenanya kita merasa tidak pernah jemu melakukannya, sebab setiap kali kita menghadapi karyanya kali itu pula akan kita peroleh warna-warna baru yang mengasyikkan. Begitu pula halnya tentang penyair ini.
S. Suharianto, Berkenalan dengan Cipta Seni
Pada kutipan tersebut penulis melihat karya sastra dari sudut karya sebagai hasil ciptaan pengarang, sebagai ekspresi pengarang. Sekaligus dia menggunakan pendekatan ekspresif dalam pengkajian puisi Chairil Anwar. Dengan mempelajari puisi-puisi Chairil Anwar seakan-akan terlihat kekompleksan pribadinya. Semakin dibaca karyanya semakin ditemukan warna-warna baru yang mengasyikkan di dalamnya. Pernahkah Anda mengalami hal serupa seperti yang diungkapkan penulis di atas? Jika belum lakukanlah hal yang sama dan Anda akan mengalami kebenaran yang penulis ungkapkan di atas.

B. KRITIK SASTRA
Kritik sastra adalah bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang sering digunakan para pengkaji sastra untuk hal yang sama ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menghindari kata kritik yang terkesan negatif, terkesan menghakimi. Tampaknya masyarakat kita masih belum terbuka hati dengan kata kritik. Kata kritik dianggap kata yang bermakna negatif karena menilai sesuatu dari sisi kekurangan dan kelemahannya, menghakimi seseorang atas kekurangannya sehingga orang yang dihakimi tidak dapat berkembang. Kata kritik dianggap sebagai suatu yang destruktif, bermakna tajam, dan menjatuhkan seseorang. Padahal sebenarnya pengertian kritik sastra tidaklah demikian. Seseorang yang terbuka hatinya untuk dikritik dia akan merasa bahwa dengan dikritik dia akan memperoleh masukan tentang kekurangan atau kelemahannya, bahkan juga keunggulannya. Dengan demikian ia akan berusaha memperbaiki kekurangan dan kelemahannya sehingga karyanya akan menjadi lebih baik dan ia akan menjadi orang yang sukses dalam bidangnya. Demikian halnya dengan pengertian kritik, khususnya dalam kritik sastra.
Menurut H.B. Yasin, kata kritik dalam kritik sastra bermakna pertimbangan baik buruknya suatu karya sastra, pertimbangan kelemahan dan keunggulan karya sastra. Melalui kritik sastra, penulis akan mengembangkan dirinya menjadi penulis yang menyadari kelemahan dan sekaligus keunggulan dirinya dalam menghasilkan karya sastra. Demikian juga Andre Hardjana (1981) mendefinisikan kritik sastra sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran secara sistemik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Kata ‘pembaca’ di sini ditekankan karena kritik sastra bukanlah hasil kerja yang luar biasa dari penulisnya yang dapat disetarakan dengan penulis karya sastra itu sendiri. Setiap pembaca dapat saja membuat kritik terhadap karya sastra yang dibacanya tetapi belum tentu ia dapat masuk ke dalam nilai-nilai hakiki karya sastra tersebut kalau dia tidak mendalami dan menilai pengalaman kemanusiaan yang terdapat di dalamnya.
Dengan pengertian seperti itu, lambat laun kata kritik dalam pengertian kritik sastra digunakan secara meluas. Apalagi dengan terbitnya buku Analisis yang dilaksanakan oleh H.B. Yasin, serta buku Kritik dan Esei Kesusastraan Indonesia, buku yang memuat kritik dan ulasan cerpen dan novel-novel Indonesia yang banyak digunakan kalangan akademisi, menyebabkan istilah kritik sastra digunakan secara meluas sebagai bagian dari ilmu sastra.
Semi (1984), mengemukakan bahwa istilah kritik sastra telah mengalami usia yang cukup panjang. Dalam bahasa Yunani, istilah ini telah dikenal pada tahun 500 sM, yaitu krinein yang berarti menghakimi, membanding, dan menimbang. Kata ini menjadi dasar kata kreterion, yang berarti dasar, pertimbangan, penghakiman. Orang yang melaksanakan pertimbangan, penghakiman, disebut krites yang berarti hakim. Dari kata krites inilah istilah kritik digunakan sampai sekarang. Orang yang melakukan kritik terhadap karya sastra disebut kritikus sastra.
Kegiatan kritik sastra pertama kali dilakukan oleh bangsa Yunani yang bernama Xenophanes dan Heraclitus. Mereka mengecam pujangga Yunani yang bernama Homerus yang gemar menceritakan kisah dewa-dewi. Para pujangga Yunani menganggap karya-karya Homerus tentang kisah dewadewi tidak baik dan bohong. Peristiwa kritik sastra ini diikuti oleh kritikuskritikus berikutnya di Yunani seperti Aristophanes( 450-385 sM), Plato (427347 sM), dan Aristoteles murid Plato (384-322 sM).
Buku tentang kritik sastra yang dianggap cukup lengkap dan merupakan sumber pengertian kritik sastra modern ialah karya Julius Caesar Scaliger (1484-1585) yang berjudul Criticus. Di dalamnya memuat tentang perbandingan antara pujangga-pujangga Yunani dan Latin dengan titik berat kepada pertimbangan, penyejajaran, dan penghakiman terhadap Homerus. Kemudian muncul pula istilah criticism yang digunakan penyair Jhon Dryden (Inggris, 1677). Semenjak itu istilah criticism lebih banyak digunakan dari pada istilah critic karena dianggap memiliki pengertian yang lebih fleksibel.
Di Indonesia istilah kritik sastra secara akademis baru dikenal pada sekitar awal abad kedua puluh setelah para sastrawan memperoleh pendidikan sastra di negara barat. Tetapi bukan berarti belum pernah terjadi kritikan terhadap karya pujangga pada masa sebelumnya. Dibakarnya syairsyair Nuruddin Ar-Raniri yang memuat ajaran mistik yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dilarangnya beredar buku sastra suluk Jawa, Kitab Darmagandul dan Suluk Gatoloco, juga karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, serta dilarangnya beredar buku-buku sastra oleh pemerintah karena dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan negara, membuktikan bahwa kegiatan kritik sastra telah pernah ada sebelumnya. Tentunya kegiatan kritik sastra seperti itu tidak dapat digolongkan ke dalam kritikan sastra dalam arti yang sesungguhnya karena tidak berbentuk tulisan dan tidak menggunakan sistematika kritik sastra.
Adanya kriteria yang digunakan dalam kritik sastra dimaksudkan agar hasil dari kritikan tersebut merupakan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan dan bukan hanya bersifat pendapat pribadi. Dari penilaian yang bersistem dan berkriteria diharapkan mutu karya sastra yang dikritik secara keseluruhan menjadi lebih baik, dan bagi penulisnya merupakan suatu masukan untuk memperbaiki penulisannya dan merasa ditantang untuk menghasilkan karyanya lebih baik lagi.
Sekarang, dalam dunia kesusastraan sudah mulai muncul budaya penulis untuk dikritik hasil karyanya. Di kota-kota besar para sastrawan telah mulai melakukan bedah buku untuk melihat kelemahan dan keunggulan karyanya. Dengan mengundang para kritisi sastra, bersama dengan penerbitnya, mereka menggelar acara bedah buku atau telaah buku yang ditulisnya. Dengan demikian, forum ini di samping berfungsi sebagai arena telaah bukunya juga berfungsi sekaligus sebagai promosi bukunya yang baru terbit. Dari sisi ini terlihat bahwa budaya dikritik sudah mulai berterima di kalangan masyarakat sastra.
Untuk membuat suatu kritik yang baik, tentunya diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra. Dengan demikian kritikan yang diberikan terhadap suatu karya sastra menjadi kritikan yang bermakna bagi pengembangan karya sastra itu sendiri.
Contoh:
Salah satu contoh kritik sastra dapat Anda baca pada kutipan kritik HB. Yasin dalam bukunya analisis terhadap cerita pendek Rijono Pratiknjo yang berjudul Kepanjangannya berikut ini.
 Rijono telah berhasil menambat hati pembaca dan menimbulkan rasa ngeri sampai akhir cerita. Daya penambat inilah kekuatan Rijono Kita pun percaya bahwa banyak kerahasiaan di balik kehidupan kita yang lahir ke dunia ini. Tapi setelah dikatakannya bahwa apa yang diceritakannya hanyalah mimpi, kita pun merasa kecewa dan tertipu. Inilah yang saya anggap sebagai kekurangan dalam cerita ini. Kita tidak keberatan terhadap irealisme, tetapi irealisme yang tulen.
                                              HB. Yasin, Analisis Sorotan atas Cerita Pendek
Di dalam kritik HB. Yasin terhadap cerita pendek Rijono Pratiknjo, terlihat kata-kata pertimbangan yang digunakan HB. Yasin secara bergantian untuk menyatakan keunggulan dan kelemahan penulis dalam menulis cerpennya. Untuk menyatakan keunggulan penulis dia menggunakan ungkapan ‘Rijono berhasil menambat hati pembaca’, ‘Daya penambat inilah kekuatan Rijiono’. Untuk menyatakan kelemahan penulis ia pun mengemukakan, ‘ Kita merasa kecewa dan tertipu’, ‘ Inilah yang saya anggap sebagai kekurangan dalam cerita ini’. Kita tidak keberatan dengan irealisme, tetapi irealisme yang tulen. Gaya HB Yasin dalam mengemukakan kritik terhadap cerpen Rijono prakteknya antara memuji dan menyatakan kelemahan dikemukakan dengan halus dan bergantian sehingga penulis merasa bahwa ia tidak dikritik melainkan diberikan masukan dengan cara halus sehingga tidak timbul kesan bahwa kritikan menghakimi atau mencela hasil karyanya, bahkan ia merasa bahwa hasil tulisannya mendapat tanggapan yang baik oleh kritikus sastra sebagai bahan untuk perbaikan selanjutnya.

C. SEJARAH SASTRA
Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Dengan mempelajari sejarah sastra, kita dapat mengetahui perjalanan sastra dari waktu ke waktu sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa.
Tugas sejarawan sastra bukan hanya sekadar mencatat, dan menginventarisasi karya sastra, tetapi tugasnya lebih dari itu. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, ia harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik, periode-periode yang memuat karya-karya sastra, serta masalah lainnya yang menyangkut masalah sastra. Oleh karena itu, dalam mempelajari sejarah sastra tidak lepas dari teori dan kritik sastra.
Sejarah sastra mempunyai ruang cakupan yang cukup luas. Ada sejarah sastra suatu bangsa, ada sejarah sastra suatu daerah, ada sejarah sastra suatu kesatuan kebudayaan, ada pula sejarah berdasarkan jenis (genre) sastra, ada pula sejarah sastra komparatif. Sejarah sastra suatu bangsa, misalnya Sejarah Sastra Indonesia, Sejarah Sastra Cina, Sejarah Sastra Amerika; Sejarah sastra daerah, misalnya Sejarah Sastra Bugis, Sejarah Sastra Sunda; Sejarah sastra suatu kebudayaan, misalnya Sejarah Sastra Klasik, Sejarah Sastra Romantik, Sejarah Sastra Renaissance, Sejarah Sastra Melayu, Sejarah Sastra Modern, Sejarah sastra berdasarkan genre sastra adalah Sejarah Perkembangan Puisi, Sejarah Perkembangan Novel, Sejarah Perkembangan Drama. Sejarah sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang mengkaji dan membandingkan beberapa karya sastra pada masa lalu, masa pertengahan, dan masa kini. Yang dikaji dan dibandingkan bisa meliputi karya sastra antarnegara, atau karya sastra dalam satu negara.
Contoh:
Sebagai salah satu contoh sejarah sastra komparatif dapat Anda ikuti berikut ini!
Indonesia sebagai negara yang banyak suku bangsa dan ragam budayanya memiliki cerita rakyat yang hampir sama temanya, misalnya dongeng tentang asal mula padi sebagai makanan pokok bangsa Indonesia. Di berbagai daerah di Indonesia cerita ini menyebar dan dapat dibandingkan sehingga ditemukan kesamaan dan perbedaan jalan ceritanya. Walaupun terdapat kesamaan tema tetapi terdapat perbedaan dalam isi (pengembangan) cerita. Cerita-cerita rakyat yang memiliki kesamaan tema ini merupakan peristiwa sejarah sastra Nusantara yang memperlihatkan kesatuan budaya yang melandasi kehidupan bangsa kita.
Pengkajian sejarah sastra di Indonesia belum banyak dilakukan. Teeuw (1984), mengatakan bahwa sudah terdapat beberapa buku tentang pengkajian sejarah sastra Indonesia, tetapi pengkajian tersebut belum dapat memuaskan dari sudut teori sastra. Menurut Teeuw, pengkajian sejarah sastra hendaklah bertolak dari berbagai cara yang dapat membantu peneliti dalam meneliti sejarah sastra sehingga menghasilkan sejarah sastra yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selanjutnya Todorov (1985) mengemukakan bahwa tugas sejarah sastra adalah meneliti keragaman setiap kategori sastra, meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun sinkronis, serta menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari suatu masa ke masa berikutnya. Tugas yang dilakukan oleh sejarawan sastra tidak terlepas dari hasil kritik sastra yang dilakukan peneliti sastra. Dari hasil kritik sastralah sejarawan sastra dapat menggolong-golongkan karya sastra sesuai dengan kategorinya.

DAFTAR PUSTAKA

Arya, Putu. (1983). Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.

Effendi. S. (1982). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.

Fananie, Zainuddin. (1982). Telaah Sastra Surakarta: Muhamadiyah University Press.

Luxemburg, et.al. (1982). Pengantar Ilmu Sastra.Terjemahan Dick Hartoko.Jakarta: Gramedia.

Mido, Frans. (1982). Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Ende, Flores: Nusa Indah 1994.

Semi Atar M. (1992). Anatomi Sastra. Bandung: Rosda Karya.

Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja RosdaKarya.

Suyitno. Sastra. (1986). Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.

Tarigan Guntur H. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Tjahjon Libertus, T. (1986). Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende, Flores:Nusa Indah.

Waluyo, Herman. (1986). Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS.

Wellek & Warren A. (1986). Teori Kesusastraan (DiindonesiakanMelami Budianta).

Kamis, 15 September 2022

Kaidah Sastra, Teks dan Penggunaan Bahasa

 Nama : Aurel Gracia

Nim : 22016014

Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.

Sesi(08.50-12.20)

1. Kaidah Sastra

A.  Bahasa Baku Teks Sastra

Penggunaan bahasa dalam karya sastra memiliki persamaan dan perbedaan dengan penggunaan bahasa non sastra. Persamaanya yaitu jika non sastra menggunakan bahasa Indonesia maka bahasa sastra pun menggunakan bahasa yang sama. Perbedaan bahasa sastra dan non sastra yaitu pengolahan bahasanya. Karya sastra mengolah bahasa sedemikian rupa sehingga dapat memancarkan efek estetika yang dapat memikat para pembaca. Tidak ada aturan yang mengikat penggunaan bahasa sastra. Lain hal dengan bahasa non sastra yang menggunakan bahasa formal atau bahasa baku dan terikat oleh aturan.

Salah satu genre sastra yang menampakkan unsur gaya bahasa di dalamnya adalah prosa fiksi. Prosa fiksi yang digemari oleh masyarakat salah 3 satunya adalah novel. Gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra novel berbeda dengan gaya bahasa yang digunakan genre sastra lain. Novel menggunakan gaya bahasa yang khas sehingga novel akan menjadi unik dan maknanya dapat dipahami oleh setiap pembaca.

Seorang pengarang atau sastrawan dalam pembuatan karya sastra juga perlu mengolah bahan baku untuk menghasilkan karya sastra. Bahan baku karya sastra adalah bahasa. Sastrawan mengolah bahasa agar menjadi indah dan bernilai seni. Sebab, keindahan itulah yang menyebabkan karya sastra disebut karya seni, yaitu seni sastra. Cara sastrawan menggunakan bahasa untuk menulis karya sastra berbeda dengan cara penulis lain untuk menghasilkan karya ilmiah. Penulis karya ilmiah bertujuan menyampaikan gagasan kepada pembaca. Karena itu, kata-kata yang dipilih dalam rakitan kalimatnya dibuat sedemikian rupa agar pembaca karya ilmiah dapat cepat menangkap dan memahami gagasan penulis. Lain halnya dengan sastrawan. Sastrawan menulis bukan hanya untuk menyampaikan gagasan kepada pembaca, melainkan juga menyampaikan perasaannya.

 B. Perkembangan Definisi Teks Sastra   

Ilmu ini sebenarnya sudah cukup tua. Cikal bakalnya muncul ketika filsuf Yunani, Aristoteles (384-322 SM) lebih dari 2000 tahun yang lalu telah menulis buku yang berjudul Poetica (bahasa Yunani) yang berarti: puisi, penulis, pembuat. Tulisan ini memuat tentang drama tragedi dan teori literatur pada umumnya.

Selanjutnya, istilah Poetica dalam kesusastraan disebut dengan bermacam istilah.

Misalnya, W.H. Hudson menyebutnya dengan The Study of Literature (studi literatur). Literature sendiri berasal dari bahasa latin literatura yang berarti belajar, menulis atau tata bahasa. 

Rene Wellek dan Austin Warren menamainya dengan Theory of Literature (teori literatur/sastra). Sedangkan Andre Lefevere, menyebutnya dengan Literary Knowledge atau pengetahuan literatur. Sedangkan A. Teeuw menggunakan istilah Literary Scholarship yang berarti ilmu sastra.

Yang dimaksud dengan teks sastra adalah teks-teks yang disusun dengan tujuan artistik dengan menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu, ada sastra lisan dan ada pula sastra tulis. Kajian ini berfokus pada kajian sastra tulis. Teks sastra berdasarkan ragamnya terdiri atas beberapa genre. Klasifikasi genre sastra itu didasarkan atas dasar kategori situasi bahasa. Berdasarkan situasi bahasa itulah sastra diklasifikasikan atas teks puisi, teks naratif atau prosa, dan teks drama.

 C. Bahasa Sastra VS Bahasa Keseharian   

Bahasa merupakan ciptaan umat manusia yang terbaik, digunakan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Seiring berjalannya waktu, bahasa sudah berkembang menjadi berbagai jenis bahasa di seluruh dunia. Dengan berbagai macam bentuk penggunaan.

Bahasa sastra dan bahasa sehari-hari merupakan dua bentuk dari penggunaan bahasa. Sastra memberikan sebuah gambaran tentang kehidupan, di mana kehidupan itu terdiri dari kenyataan sosial. Artinya kehidupan manusia mencakup hubungan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Karya sastra tercipta dari hasil proses kreatif seseorang. Proses kreatif tersebut adalah kegiatan imajinatif seseorang dengan cara menyatukan ide. Konsep dari ide akan diwujudkan dalam sebuah bahasa yang mengandung nilai estetik dan nilai seni yang tinggi. Selain bersifat imajinatif, karya sastra juga dihasilkan dari kehidupan nyata seseorang di kehidupan masyarakat. Bahasa sastra merupakan suatu bahasa yang khas di dalam dunia sastra. Sastra tentunya tidak akan lepas dari nilai estetik atau nilai keindahan. 

Sastra bisa memberikan sinar keindahan yang tidak hanya dari bentuk saja, melainkan yang paling utama adalah bahasa yang digunakan di dalamnya. Melihat dari penggunaan bahasa sastra yang khas, seseorang juga harus bisa membedakan bahasa sastra, bahasa sehari-hari, serta bahasa ilmiah. 

Contoh bahasa sastra:

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita Mati datang tidak membelah...

Puisi di atas berbicara tentang suasana hati yang bahagia, penuh harap dan cinta.

Namun, suasana jiwa yang demikian bersifat abstrak, tidak mudah diimajinasikan, maka Chairil Anwar mengekspresikannya melalui bentuk-bentuk ungkapan personifikasi agar dapat dibayangkan. Kata-kata yang dipakai dalam puisi itu sebenarnya kata-kata yang biasa didengar dan dipakai. Namun, dalam puisi itu disusun, didayakan dan dibentuk agar memiliki makna baru, makna yang belum biasa didengar dan dipakai.

Itulah manifestasi adanya unsur kreativitas, penciptaan, keaslian, kebaruan dalam bahasa sastra. Dalam puisi tersebut juga terdapat deotomatisasi yang terlihat pada struktur sintaksis larik-larik puisi yang tidak umum dan melanggar tata bahasa (bentuk deviasi).

Penyair membuat inversi, yaitu membalik susunan ‘Subjek-Predikat’ menjadi ‘Predikat-

Subjek’ pada larik 3-6.

Lantas, bagaimana bedanya dengan bahasa sehari-hari?

Bahasa sehari-hari atau disebut bahasa percakapan bukanlah sebuah konsep yang seragam. Bahasa sehari-hari mempunyai konsep yang bersifat tidak selaras atau irasional dan mengalami perubahan yang sesuai dengan adanya perkembangan historis bahasa. Walaupun bahasa sehari-hari juga berusaha memberikan ketepatan sama halnya dengan bahasa yang lainnya, seperti bahasa ilmiah. Bahasa sehari-hari merupakan salah satu bentuk bahasa yang paling umum dipakai di kalangan masyarakat. 

Contoh bahasa keseharian dengan teman, seperti guys, by the way, biasa aja kali, dan bahasa non formal lainnya.Dengan demikian, bahasa sehari-hari terdiri atas frasa dan kosakata yang umum, sehingga dapat mudah untuk dipahami. Bahasa sehari-hari mempunyai beberapa kategori, seperti penggunaan yang formal, penggunaan informal, serta penggunaan nonformal.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan mendasar antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa percakapan. Bahasa sastra memiliki sifat yang lebih konotatif dan tercipta dari hasil proses penciptaan yang bersifat kompleks. Sedangkan bahasa sehari-hari memiliki sifat yang apa adanya atau disebut denotatif. Bahasa sehari-hari diwujudkan hanya dalam bentuk lisan dan tidak menghasilkan sebuah proses yang dapat diubah ke dalam kata agar bisa menjadi nilai yang lebih estetik.

Tetapi, hanya diucapkan dalam berkomunikasi.

D. Bahasa Sastra Vs Bahasa Ilmiah

Sebagai perbandingan, berikut karakteristik dari bahasa ilmiah dan bahasa sastra yang dikemukakan oleh Hyland (Nurgiyantoro, 2014:131-132). Bahasa dalam karya ilmiah memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Bahasa ilmiah disusun sistematis, (2) karya ilmiah menggunakan gaya bahasa yang khusus 2 dalam mengembangkan argumen, (3) setiap ilmuan menggunakan gaya bahasa yang berbeda dalam mengembangkan ide dan temuan mereka, (4) mengembangkan penalaran dan argumentasi mencakup negosiasi antar personal dalam suatu komunitas keilmuan. 

Berbeda dengan bahasa karya ilmiah, bahasa sastra memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) bahasa sastra lebih dominan menggunakan perasaan daripada pikiran; (2) bahasa sastra lebih menunjuk pada makna konotatif; (3) bahasa sastra merupakan hasil kerja imajinatif; (4) bahasa ditandai dengan pengucapan yang menyimpang; dan (5) bahasa sastra menggunakan unsure tertentu untuk mencapai keindahan.

Perbandingan karakteristik bahasa sastra dan non sastra di atas dapat memperjelas bahwa bahasa karya sastra lebih bersifat kreatif dan merupakan hasil kerja imajinatif agar dapat mencapai keindahan bahasa. Berbeda dengan bahasa karya ilmiah yang terikat dengan aturan-aturan sehingga penyusunannya pun harus sitematis. Keindahan yang timbul dari bahasa sastra bergantung pada kepintaran atau gaya yang digunakan oleh setiap pengarang. Karena, meskipun tujuannya sama jika pengarang tidak dapat mengolah bahasa dengan baik maka karya sastra yang diciptakan tidak akan memiliki nilai estetika. Begitu pula sebaliknya, jika pengarang mampu mengolah bahasa dengan baik maka akan tercipta sebuah karya sastra yang baik pula. Jadi, keindahan suatu karya sastra ditentukan oleh unsur gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang.

E. Karakteristik Bahan Baku Teks Sastra

Bahasa sastra adalah bahasa yang istimewa (Simpson, 2004:98). Keistimewaan bahasa dalam sastra tersebut tampak pada pengolahan kata dan kalimat yang kesemuanya mampu menciptakan nuansa keindahan di dalamnya. Jadi, karakteristik bahasa sastra adalah

1. pertama adalah penggunaan bahasa yang estetis atau indah.

2. Kedua, bahasa sastra merupakan plastik untuk membungkus amanat dalam sebuah cipta sastra. Bahasa dalam karya sastra dijadikan sebagai media untuk menyampaikan amanat berupa ajaran dan berbagai pesan moral kepada pembacanya. Berbagai pesan moral yang disampaikan dalam karya sastra dibungkus dengan bahasa yang indah, sehingga pembaca bisa mendapatkan dua hal utama dalam sastra yaitu kenikmatan dari bahasa sastra dan manfaat di balik bahasa tersebut.

3. Ketiga, bahasa sastra dinamis. Hakikatnya, bahasa dalam karya sastra tidaklah berbeda dengan bahasa-bahasa yang digunakan pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada pemanfaatan bahasa itu sendiri. Jika karya-karya nonsastra terkesan kaku dengan aturan-aturan baku tata bahasa formal, maka sastra tidak demikian. Sastra mampu memanfaatkan bahasa secara leluasan, karena penyusunan bahasa dalam karya sastra lebih dinamis (Tynjanov dalam Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977:22). Tidak ada tata bahasa formal yang mengatur pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Setiap pengarang sastra dapat memanfaatkan bahasa secara leluasa sesuai dengan caranya sendiri dalam menyampaikan pikiran, perasaan, gagasannya. Keleluasaan setiap pengarang dalam memanfaatkan bahasa dalam karya sastra dikenal dengan istilah licentia poetica.

4.Keempat, bahasa sastra bersifat simbolis dan konotatif. Sastra berisi realitas kehidupan manusia. Realitas kehidupan tersebut ada yang dikemukakan oleh pengarang sastra secara lugas dengan menggunakan bahasa-bahasa yang denotatif, namun ada juga yang diungkapkan secara simbolik dengan menggunakan bahasa-bahasa yang konotatif. Bahkan, penggunaan simbol dan bahasa yang konotatif menjadi salah satu ciri bahasa sastra. Dengan bahasa yang simbolis dan konotatif, pengarang sastra dapat mewakilkan kesan pribadinya terhadap sesuatu. Dengan begitu, walaupun pengarang merasa  simpati,takut, atau bahkan benci kepada sesuatu atau seseorang, dia tidak harus menyatakannya secara langsung, namun melalui simbol-simbol bahasa.


2. Teks dan Penggunaan Bahasa

A. Hakikat Teks Sebagai Ilmu (Tekstologi)

Tekstologi merupakan bagian dari ilmu filologi yang mempelajari seluk-beluk teks, terutama menelaah yang berhubungan dengan penjelmaan dan penurunan teks sebagai sebuah teks karya sastra, dari mulai naskah otograf (teks bersih yang ditulis pengarang) sampai pada naskah apograf (teks Salinan bersih oleh orang-orang lain), proses terjadinya teks, penafsiran, dan pemahamannya.Untuk memahami penjelmaan dan penurunan teks, peneliti harus memahami terlebih dulu karakteristik penurunan teks dengan karakteristik tiap-tiap jenis teks, sedangkan untuk menafsirkan eksitensi teks dengan pemahaman isinya peneliti hendaknya memahami penelitian teks.

Dalam teori lain, Prof. Oman pernah mengemukakan jika tekstologi itu hampir sama dengan filologi. Yang mana, kedua ilmu tersebut mempelajari bagaimana sejarah serta proses terjadinya teks sehingga muncul dalam bentuk tulisan. Kendati terkesan sama, namun hakikatnya kedua ilmu tersebut memiliki. Hal ini dapat dilihat dari cakupan ilmu masingmasing. Di mana, tekstologi lebih mempelajari proses terjadinya teks serta silsilah penurunannya dalam sebuah karya yang berupa tulisan.

Salah satu tokoh literasi yang bernama De Haan (dalam Baried, 1994:58) mengemukakan bahwa teks bisa terjadi akibat beberapa kemungkinan, diantaranya:

1. Aslinya teks itu hanya ada dalam ingatan pengarang atau pembawa cerita, atau tukang cerita. Setiap terjadi penurunan teks maka akan terjadi variasi teks.

2. Aslinya berupa teks tertulis yang masih memungknkan berubahan, atau karena memerlukan kebebasan seni.

3. Aslinya merupakan teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pembawaanya.

Sedangkan menurut Lichacev dalam Undang. A Darsa:2015 mengemukakan bahwa tekstologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk teks, meliputi penjelmaan dan penurunan teks dalam sebuah naskah, penafsiran, serta pemahamannya.

Jadi, bila disimpulkan, arti dari tekstologi adalah ilmu yang mempelajari tentang teks secara mendalam pada karya sastra, meliputi sejarah terjadinya teks, proses terjadinya teks, serta bagaimana pelafalan itu menjadi sebuah teks yang bisa tersusun rapi menjadi naskah atau bacaan.

B. Ciri Khas Suatu Teks

Ciri-ciri suatu teks karya sastra, yaitu:

1. Isinya menggambarkan manusia dengan berbagai persoalannya.

Pada karya cerita fiksi , daya tariknya terletak pada cerita atau tokoh-tokoh yang diceritakan sepanjang cerita yang dimaksud.

2. Bahasanya yang indah atau tertata baik.

Selain itu, faktor bahasa juga memegang peran penting dalam menciptakan daya pikat.

3. Gaya penyajiannya yang menarik yang berkesan dihati pembaca.

Khusus cerita fiksi ada empat hal yang membantu menciptakan daya tarik cerita rekaan (1) kreativitas (2) tegangan (suspense) (3) konflik (4) jarak estetika. Uraian tersebut sebagaimana dikutip dari Waluyo (1994:58-60).

C. Jenis-Jenis Teks dalam Kaidah Tekstologi

Dalam penjelmaan dan penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks, yaitu:

a. teks lisan (tidak tertulis)

b. teks naskah tulisan tangan

c. teks cetakan (Baried, 1985:56)

 Kalau kita lihat berdasarkan masa perkembangannya, teks yang pertama ada adalah teks lisan, teks lisan lahir dari cerita-cerita rakyat yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui tradisi mendongeng. Teks lisan berkembang menjadi teks naskah tulisan tangan yang merupakan kelanjutan dari tradisi mendongeng, cerita-cerita rakyat yang pernah dituturkan disalin ke dalam sebuah tulisan dengan menggunakan alat dan bahan yang sangat sederhana dan serta menggunakan aksara dan bahasa daerahnya masingmasing. Teks naskah tulisan tangan ini masih tradisional, setelah ditemukannya mesin cetak dan kertas oleh bangsa Cina maka perkembangan teks pun menjadi lebih maju, pada masa ini orang tidak harus susah-susah menyalin sebuah teks, tetapi teks-teks sangat mudah diperbanyak dengan waktu yang tidak lama maka lahirlah teks-teks cetakan.

D. Kaidah Teks Sastra dalam Kajian Tekstologi

Baried (1985-1957), menyebutkan ada sepuluh prinsip Lichacev yang dapat dijadikan sebagai pegangan penelitian tekstologi yang pernah diterapkan pada karya-karya monumental sastra lama Rusia. Kesepuluh prinsip tersebut adalah:

1. Tekstologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks suatu karya. Salah satu diantara penerapannya yang praktis adalah edisi ilmiah teks yang bersangkutan.

2. Penelitian teks harus didahulukan dari penyuntingannya.

3. Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya.

4. Tidak ada kenyataan tekstologi tanpa penjelasan.

5.Secara metodis perubahan yang diadakan secara sadar dalam sebuah teks (perubahan ideology, artistik, psikologis, dan lain-lain) harus didahulukan daripada perubahan mekanis, misalnya kekeliruan tidak sadar oleh seorang penyalin.

6. Teks harus diteliti secara keseluruhan.

7. Bahan-bahan yang mengiringi sebuah teks harus diikutsertaan dalam penelitian.

8. Perlu diteliti pemantulan sejarah teks sebuah karya dalam teks-teks monumen sastra lain. 9. Pekerjaan seorang penyalin dan kegiatan skriptoria-skriptoria tentu harus diteliti secara menyeluruh.

10. Rekontruksi teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan dalam naskah-naskah.

                          Kesimpulan

Penggunaan bahasa dalam karya sastra memiliki persamaan dan perbedaan dengan penggunaan bahasa non sastra. Persamaanya yaitu jika non sastra menggunakan bahasa Indonesia maka bahasa sastra pun menggunakan bahasa yang sama. Perbedaan bahasa sastra dan non sastra yaitu pengolahan bahasanya. Karya sastra mengolah bahasa sedemikian rupa sehingga dapat memancarkan efek estetika yang dapat memikat para pembaca. Tidak ada aturan yang mengikat penggunaan bahasa sastra. Lain hal dengan bahasa non sastra yang menggunakan bahasa formal atau bahasa baku dan terikat oleh aturan.

Bahasa sastra berbeda dengan bahasa keseharian dan bahasa ilmiah. Bahasa sastra memiliki sifat yang lebih konotatif dan tercipta dari hasil proses penciptaan yang bersifat kompleks. Sedangkan bahasa sehari-hari memiliki sifat yang apa adanya atau disebut denotatif,serta bahasa karya ilmiah terikat dengan aturan-aturan sehingga penyusunannya pun harus sitematis.   

Jika dilihat dari perkembangan teks sastra,teks sastra berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Teks yang pertama adalah teks lisan,teks lisan berkembang menjadi  teks naskah tulisan tangan,teks naskah tulisan tangan ini masih tradisional setelah ditemukan mesin cetak berkembang menjadi teks cetakan.

 

                          DAFTAR PUSTAKA 

Akidah, Siti Nur. 2016. Karya Sastra Modern dan Klasik. (Online)       (http://sitinurakidah311.blogspot.com/2016/03/?m=1- diunduh 2 September 2022)

Didipu, H. 2012. Karakteristik Bahasa Sastra. (Online). 

(http://hermandidipu.blogspot.com/2012/01/karakteristik-bahasa-sastra.html-   diunduh pada 2 September 2022).

Khanza,Mutia Chika.2019.Sastra dan Pendidikan Sastra. ( Online).

(https://kesusastraanitschika.blogspot.com/2021/09/laporan-membaca-mingguke-tiga-

%20mata.html?m=1,%20diakses%20pada%20tanggal%2031%20Agustus%2020 22.- diunduh 1 September 2022).

Nanda.2020. Apresiasi Sastra. (Online) (https://bahanajar.esaunggul.ac.id/esa113/2020/01/29/apresiasi-sastra/- diunduh 2 September 2022).

Rika Wijayanti. 2015. Ragam Bahasa Ilmiah vs Ragam Bahasa Sastra. (Online) (http://rika-wijayanti.blogspot.com/2017/02/ragam-bahasa-ilmiah-vs-ragambahasa.html- diunduh 2 September 2022).

Rangga, Adtya.2021. Sastra. ( Online) (https://cerdika.com/sastra/- diunduh 2 September 2022).

Rizal, Fach.2013. Karya Sastra Sebagai Suatu Teks. (Online)

(http://ichalmild.blogspot.com/2013/03/karya-sastra-sebagai-suatuteks.html?m=1- diunduh  2 September 2022).

Rafi,Muhammad.2022. Beda Bahasa Sastra Beda Bahasa Sastra dengan Bahasa Sehari-hari:       dengan-bahasa-sehari-hari-tinjauan-sifat-sastra- diunduh 2 September 2022). Tinjauan Sifat Sastra.(Online) (https://www.qureta.com/post/beda-bahasa-sastra-

Wellek, Rene dan Austin Warren. 2018. Teori Kesusastraan. (Online)

(https://www.qureta.com/post/beda-bahasa-sastra-dengan-bahasa-sehari-haritinjauan-sifat-sastra- diunduh 2 September 2022).

Yunita,Nia Oktavia.2021. Bahasa Sastra dan Teks Sastra. (Online)   

(https://niaoktaviayunita.blogspot.com/2021/09/bahasa-sastra-dan-tekssastra.html?m=1,- diunduh 1 September 2022). 

 

 


Kamis, 08 September 2022

Fungsi Sastra

Nama : Aurel Gracia

Nim : 22016014

Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.

Sesi(08.50-12.20)



Fungsi Karya Sastra

Karya sastra tidak hanya dapat dijadikan sebagai bahan bacaan ketika waktu senggang saja. Sastra memiliki fungsi yang beragam dalam kehidupan manusia. Amir (2013) mengungkapkan bahwa beberapa fungsi sastra, yaitu fungsi hiburan, pendidikan, keindahan, moral, dan religius. Karya ini tidak hanya memberikan perasaan senang kepada pembaca, namun memberikan pendidikan juga melalui nilai-nilai ekstrinsik yang terkandung di dalamnya.

Fungsi Hiburan (Reaktif)

Karya sastra dapat menghibur pembacanya. Menimbulkan tawa dalam cerita yang kocak, memberikan hiburan intelegen dengan melalui kandungan wawasan barunya, membangkitkan sensitifitas kemanusiaan melalui kisah tragedi, menginspirasi dari kisah seseorang, dsb.


Fungsi Pendidikan (Didaktif)

Mendidik adalah sifat alamiah dari karya yang dibuat dengan penuh perhatian terhadap isi dan bentuk dasarnya. Sehingga dapat memberikan informasi, pengetahuan, wawasan atau kebijaksanaan (wisdom) baru yang dapat dihubungkan dengan kehidupan.


Fungsi Keindahan (Estetis)

Seperti puisi, karyanya dapat hanya memberikan keindahan atau nilai estetis yang disampaikan oleh Penulisnya. Sehingga, keindahan atau gagasan pemikirannya yang kreatif dapat dinikmati dan menggugah penikmat/pembacanya.

Fungsi ini juga dapat melatih kreatifitas Pembacanya. Karena mereka mempunyai celah untuk memberikan interpretasi dan pendapat pribadinya dari berbagai kata yang dirangkai oleh sang Penulis.


Fungsi Sosial

Sastra dapat menggugah pembacanya untuk menjadi lebih sadar terhadap isu-isu sosial yang tengah terjadi di dunia. Melalui perumpamaan atau cerminan realita, tulisan ini juga dapat mengkritik tanpa main hakim sendiri (judging), karena tidak mengarahkannya langsung pada pihak atau individu yang bersangkutan.


Fungsi Sejarah

Sejarah sudah terlalu sering ditunggangi oleh kepentingan dari pihak yang diunggulkan pada masanya. Sehingga sejarah dapat menjadi sangat tidak objektif dan memihak. Sastra dapat menjadi saksi bisu sekaligus pengomentar terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi disekitar Penulisnya.


DAFTAR PUSTAKA 

Amir, A. (2013). Sastra lisan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Esten, Mursal. (1978). Kesusastraan (Pengantar, Teori, dan Sejarah). Bandung: Angkasa.

Eagleton, Terry. (2010). Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. (Edisi Terjemahan Harfiah Widyawati dan Evy Setyarini).
 Yogyakarta: Jalasutra. (Tautan Informasi Buku)

Semi, Atar. (1988). Kritik Sastra. Bandung : Angkasa.

Badrun, Ahmad. (1983). Pengantar Ilmu Sastra. Surabaya: Usaha Nasional.

Sudjiman, Panuti. (1990). Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.

Sumardjo, Jakob, dan Saini K.M. (1997). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Saryono. (2009). Pengantar Apresiasi Sastra. Malang: Universitas Negeri.

Penyajian Masalah Semantik: Topik: Analisis Makna dalam Lirik Lagu Tulus: Album Monokrom

Nama          : Aurel Gracia Nim            : 22016014 Prodi        : Pendidikan bahasa dan sastra indonesia Analisis Makna dalam Lirik Lagu...