Rabu, 30 November 2022

Hakikat Interpretasi Terhadap Karya Sastra

Nama : Aurel Gracia

Nim : 22016014

Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.

Sesi(08.50-12.20)


A. Hakikat Interpretasi Terhadap Karya

        SastraSastra adalah sebuah karya yang terbuka terhadap berbagai interpretasi (penafsiran). Interpretasi merupakan proses menyampaikan pesan (makna) yang secara eksplisit dan implisit termuat dalam karya sastra. Interpreter adalah jurubahasa atau penerjemah pesan yang terdapat dalam karya sastra.

      Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpretasikan dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra--terutama dalam prosesnya--pasti melibatkan keterlibatan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.

      Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu "menembus kedalaman makna" yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, penafsir (si penafsir) harus memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam.

       Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.

       Pada mulanya hermeneutika adalah menemukan terhadap kitab-kitab suci. Namun, dalam batasan berikutnya, cakupannya berkembang dan mencakup masalah yang ditemukan secara menyeluruh (Eagleton, 1983: 66).

  1.Sejarah dan Pengertian Hermeneutika 

       Secara tradisional, hermeneutika (hermeneutics) diartikan sebagai teori atau ilmu penafsiran. Term ini berasal dari bahasa Yunani hermeneuein, yang berarti menafsirkan atau menerjemahkan sesuatu ke dalam bahasa seseorang; atau dapat berarti memberikan ekspresi kepada atau pada yang lain.2 Dikatakan juga ia berasal dari kata hermeneutiko dengan pengertin yang mirip. Aristoteles menggunakan istilah hermeneias dalam bukunya Peri Hermeneias, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi On the Interpretation dan ke dalam bahasa Arab menjadi Fi al-,EDUDK.3     

       Istilah hermeneutika kemudian dikaitkan dengan teologi, tepatnya sub disiplin teologi yang membahas metodologi dan otentifikasi dalam penafsiran teks Kitab Suci dalam tradisi Kristen maupun Yahudi.6 Perkembangan hermeneutika, khususnya hermeneutika teks-teks, pada mulanya merebak dalam disiplin teologi, dan lebih umum lagi dalam sejarah permikiran teologis YudioKrisitiani. Lefevere (1977: 46) menyebutnya sebagai sumber-sumber asli, yakni yang bersandarkan pada penafsiran dan khotbah Bibel agama Protestan (bdk. Eagleton, 1983: 66).

       hermeneutika dikaitkan dengan teori atau filsafat penafsiran makna/arti. Ia muncul menjadi topik utama dalam kajian filsafat ilmu-ilmu sosial dan humainora. Ia juga bahkan dimaknai sebagai filsafat seni dan bahasa dalam kritik sastra. 

 2. Hermeneutika Metodologis

     Model ini memfokuskan pembahasannya pada problematika dalam penafsiran secara umum, dikenal sebagai metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusian/humainora (geisteswissenschaften). Melalui analisa pemahaman (verstehen) sebagai metode yang cocok untuk melakukan SURVHV mengalami ulang· (re-experiencing) atau memikirkan ulang· (re-thinking) tentang apa yang telah secara sebenarnya dirasakan dan dipikirkan oleh pengarang. Proses hermeneutik seperti ini diharapkan akan membantu mengerti suatu proses pemahaman secara umum, yaitu bagaimana pembaca mampu mentransposisikan atau mengatur kembali suatu kompleksitas pemahaman pengarang ke dalam pemahaman pembaca dengan dunianya sendiri. Dengan kata lain, tugas pembaca adalah menghadirkan ulang proses dan hasil yang telah dicapai oleh pengarang. Dengan cara seperti ini, dalam pembacaannya, seorang pembaca akan terhindar dari salah mengerti pemikiran orang lain.13

      Dua hal menjadi penting dari proses hermenutis di atas, yaitu obyek kajian dan media di mana proses hermeneutik dapat dilakukan.    3.Hermeneutika Filosofis

       Hermeneutika filosofis menolak hermeneutika metodologis atau teoritis karena karater obyektivismenya20 yang terlalu menekankan pada pencarian basis penelitian ilmiah pemahaman. Hermeneutika filosofis meyakini bahwa peneliti sosial atau pembaca selalu berada dalam keterkaitannya dengan satu konteks tradisi. Artinya, dia sebenarnya telah mempunyai pra-pemahaman ketika dia mengawali penelitian, karena sebenarnya dia memulai penelitiannya tidak dalam keadaan yang benar-benar netral. Cara pandang terhadap relasi subyek dan obyek ini meniscayakan adanya perubahan paradigma, yaitu ketika mempertanyakan apa saja yang mesti terlibat dalam proses sebuah pemahaman, maka terjadi peralihan dari sikap reproduksi obyek penelitian ke paradigma partisipasi dalam komunikasi yang berlangsung (on going communication) antara masa lalu dan sekarang. 

 4.Hermeneutika Kritis

     Secara umum, hermenutika mempertanyakan isi dari obyek penafsiran. Pertanyaanya adalah bagaimana pemahaman atas materi kajian mungkin dilakukan dan sampai sejauhmana proses tersebut dapat menentukan pengetahuan obyektif? Hermeneutika teoritis atau metodologis mencarinya dalam maksud pengarang, sehingga proses hermeneutika menjadi upaya untuk memediasi tradisi/masa lalu dengan pemahaman secara subyektif atas makna yang telah ditentukan, yaitu sesuai dengan maksud pengarang dengan hasil reproduksi makna. Hermeneutika filosofis mencari makna dalam isi teks melalui proses dialogis antara penafsir, konteks dan obyek dalam proses peleburan cakrawala yang terus menerus secara eksistensial dengan hasil produksi makna yang tidak terbatas. Sedangkan hermenutika kritis melakukan pencarian makna dalam proses dialog antara isi teks dan struktur ideologi realitas.34 Lebih spesifik lagi, hermenutika kritis mencari sebab-sebab pemahaman dan komunikasi yang distorsif (teralihkan atau terkurangi) dalam situasi interaksi yang normal. Karenanya proses analisa hermeneutika kritis mengkaitkannya pada penjelasan kausalitas dan prosedur interpretasi.

B.Hermeneutika dan Interpretasi Sastra

       Hermeneutika yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan pemikiran hermeneutika, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutika mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut, sebagaimana dikemukakan di atas. Untuk memahami hermeneutika dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika, terutama megenai tiga varian hermeneutika seperti dikemukakan Bleicher (hermeneutika metodologis/teoritis, filosofis, dan kritis). Dengan pemahaman tiga varian hermeneutika tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutika dalam sastra.

      Dalam perkembangan teori-teori sastra kontemporer juga terlihat bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca (audience) dalam menginterpretasi makna teks. Kecenderungan itu sangat kuat tampak pada hermeneutika ontologis yang dikembangkan oleh Gadamer, yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger. Valdes menyebut hal ini sebagai hermeneutika fenomenologi, dan terkait dengan nama-nama tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.49

      Untuk itu, jika kita menerima hermeneutika sebagai sebuah teori interpretasi reflektif, hermeneutika fenomenologis merupakan sebuah teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologis. Dasar dari hermeneutika fenomenologis adalah mempertanyakan hubungan subjek-objek dan dari pertanyaan inilah dapat diamati bahwa ide dari objektivitas perkiraan merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Hubungan ini bersifat mendasar dan fundamental (being-in-theworld).50

       Tiga varian hermeneutika: 1.metodologis/teoritis 

2.filosofis, dan 

3.kritis

      masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Dalam hubungan ini, sebetulnya yang terpenting bagi interpreter adalah bagaimana hermeneutika itu dapat diterapkan secara kritis agar tidak ketinggalan zaman. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis. 


DAFTAR PUSTAKA 

B. Simega, “Hermeneutika Sebagai Interpretasi Makna Dalam Kajian Sastra”, Jurnal KIP , vol. 2, tidak. 1 hlm. 24–48, Des. 2017.

Manuaba, Putera.2001."Hermeneutika dan Interpretasi Sastra". (Online)

https://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.htmldi unduh pada 30 November 2022.

Nursida, Ida."Menakar Hermeneutika Dalam Kajian Sastra" Jurnal Kajian Sastra Vol.34 No.1 (2017):81-107]


Kamis, 24 November 2022

Pendekatan Ekspresif dan Pragmatik

Nama : Aurel Gracia

Nim : 22016014

Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.

Sesi(08.50-12.20)

A. Pendekatan Ekspresif
       Hakikat Pendekatan Ekspresif
Kritik ekspresif mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi atau curahan, atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja dengan pikiran-pikiran, perasaan; kritik itu cenderung menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokan vision pribadi penyair atau keadaan pikiran; dan sering kritik ini mencari dalam karya sastra fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis, yang secara sadar ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut (Pradopo, 1997:193). Dan pendapat lain menyatakan, pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang mengkaji ekspresi perasaan atau temperamen penulis (Abrams, 1981:189).
       Pendekatan kritik ekspresif ini menekankan kepada penyair dalam mengungkapkan atau mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses penciptaan karya sastra. Pengarang menciptakannya berdasarkan subjektifitasnya saja, bahkan ada yang beranggapan arbitrer. Padahal, ekspresif yang dimaksud berkenaan dengan daya kontemplasi pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga menghasilkan sebuah karya yang baik dan sarat makna.

1.Langkah Penerapan Pendekatan Ekspresif
        Karena pendekatan ini merupakan pendekatan yang mengaitkan sebuah karya sastra dengan pengarangnya. Maka, ada beberapa langkah dalam menerapkan pendekatan ekspresif.
Langkah pertama, seorang kritikus harus mengenal biografi pengarang karya sastra yang akan dikaji.
Langkah kedua, melakukan penafsiran pemahan terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra, seperti tema, gaya bahasa/ diksi, citraan, dan sebagainya. Menurut Todorov dalam menafsirkan unsur-unsur karya sastra bisa dengan cara berspekulasi, sambil juga meraba-raba, tetapi sepenuhnya memiliki kesadaran diri, dari pada merasa memiliki pemahaman tetapi masih buta. Artinya, seorang kritikus boleh bebas melakukan penfasiran pemahaman terhadap unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra
Langkah ketiga, mengaitkan hasil penafsiran dengan berdasarkan tinjauan psikologis kejiwaan pengarang. Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconcius) setelah jelas baru dituangkan kedalam bentuk secara sadar (conscius). Dan kekuatan karya sastra dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.

2.Ciri-ciri pendekatan ekspresif
       Melalui indikator kondisi sosiokultural pengarang dan cin- ciri kreativitas imajinatif karya sastra, maka pendekatan ekspresif dapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-cin individualisme, nasionalisme, komunisme, dan fenimisme dalam karya. - baik karya sastra individual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi.

B.Pragmatik 
      Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang muncul dari pandangan Charles Morris (1938) berkenaan dengan semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari sistem tanda atau lambang. Morris membagi semiotika ke dalam tiga bagian, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan antara lambang dengan lambang lainnya. Semantik mempelajari hubungan antara lambang dengan objeknya. Sementara pragmatik mengkaji hubungan lambang dengan penafsirannya (Darma, 2014: 73; Zamzani, 2007: 15--16). Pragmatik muncul sebagai usaha mengatasi kebuntuan semantik dalam menginterpretasi makna kalimat.
      Pragmatik berasal dari kata pragma dalam bahasa Yunani yang berarti ‘tindakan’ (action) (Seung, 1982: 38). Kajian pragmatik terkait langsung dengan fungsi utama bahasa, yaitu sebagai alat komunikasi. Geoffrey Leech menyatakan bahwa kajian pemakaian bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi secara umum disebut pragmatik umum (1993: 15).
Levinson juga memberikan lima sudut pandang mengenai pragmatik sebagai berikut.
      Pertama, pragmatik dipandang sebagai kajian tentang hubungan bahasa dengan konteks yang digramatikalisasikan atau yang dikodekan dalam struktur bahasa. ... Pandangan tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara sintaksis dan pragmatik. ...
      Kedua, pragmatik merupakan kajian aspek makna yang tidak tercakup atau dimasukkan dalam teori semantik. Pragmatik dipandang memiliki hubungan dengan semantik. Baik pragmatik maupun semantik kedua-duanya mengkaji tentang makna atau arti. ...
      Ketiga, pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian atau pemahaman bahasa. Pandangan tersebut menunjukkan adanya tiga aspek penting dalam kajian pragmatik, yaitu bahasa, konteks, dan pemahaman. Pemahaman terkait dengan masalah makna pula. ...
     Keempat, pragmatik merupakan kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan dengan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai atau cocok dengan kalimat itu. ...
      Kelima, pragmatik sebagai bidang ilmu mandiri. Pragmatik memiliki lima cabang kajian, yaitu deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur atau tidak bahasa, dan struktur wacana
Deiksis adalah cabang pragmatik yang mengkaji pergantian makna kata atau kalimat yang disebabkan oleh pergantian konteks. Implikatur adalah cabang pragmatik yang mengkaji makna konotatif. Praanggapan merupakan sesuatu yang diambil oleh penyapa sebagai dasar berpijak yang dipakai bersama-sama antarpartisipan suatu percakapan.

DAFTAR PUSTAKA 

Brigsel, Mj.(2014)."Makalah Pendekatan Ekspresif".(Online)https://www.mjbrigaseli.com/2014/07/makalah-pendekatan-ekspresif_25.html?m=1 di unduh pada 24 November 2022
Zamzani. 2007. Kajian Sosiopragmatik. Yogyakarta: Cipta Pustaka.

Sabtu, 19 November 2022

Pendekatan Objektif dan Mimetik

Nama : Aurel Gracia

Nim : 22016014

Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.

Sesi(08.50-12.20)


A. Pendekatan Objektif 

       Pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Diperjelas oleh Hasanudin (Abidin 2010: 75) “pendekatan objektif merupakan pendekatan yang mengutamakan penyelidikan karya sastra berdasarkan kenyataan teks sastra itu sendiri”.

       Pendekatan Objektif adalah pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom, karena tulisan ini mengarah pada analisis karya sastra secara strukturalisme. Sehingga pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif. Semi (1993:67) menyebutkan bahwa pendekatan struktural dinamakan juga pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. Strukturalisme berpandangan bahwa untuk menikmati karya sastra secara objektif harus berdasarkan pemahaman terhadap teks karya sastra itu sendiri. Proses menganalisis diarahkan pada pemahaman terhadap bagian-bagian karya sastra dalam menyangga keseluruhan, dan sebaliknya bahwa keseluruhan itu sendiri dari bagian-bagian (Sayuti, 2001; 63). , Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Mengacu istilah Teeuw (1984:134), jadi yang penting hanyaclose reading , yaitu cara membaca yang bertitik tolak dari pendapat bahwa setiap bagian teks harus menduduki tempat di dalam seluruh struktur sehingga kait-mengait secara masuk akal (Pradotokusumo, 2005 : 66 ).

      Suwondo (2001:55) berpendapat memahami sastra strukturalisme berarti memahami karya sastra dengan menolak campur tangan dari luar. Jadi memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur yang membangun struktur. Dengan demikian struktur analisis bermaksud memaparkan dengan cermat kaitan unsur-unsur dalam sastra sehingga menghasilkan makna secara menyeluruh. Rene Wellek (1958 : 24) menyatakan bahwa analisis sastra harus mengedepankan aspek intrinsik. Senada dengan pendapat tersebut Culler memandang bahwa karya sastra bersifat otonom yang maknanya tidak ditentukan oleh hal di luar karya sastra itu (Culler, 1977:127). Istilah lainnya anti kausal dan anti balas historis (Djojosuroto, 2006:35).

      Analisis karya sastra dengan pendekatan strukturalisme memiliki berbagai kelebihan, diantaranya 

(1) pendekatan struktural memberi peluang untuk melakukan telaah atau kajian sastra secara lebih rinci dan lebih mendalam 

(2) pendekatan ini mencoba melihat sastra sebagai sebuah karya sastra dengan hanya mempersoalkan apa yang ada di dalam dirinya, 

(3) memberi umpan balik kepada penulis sehingga dapat mendorong penulis untuk menulis secara lebih berhati-hati dan teliti (Semi, 1993: 70). 

      Selain memiliki beberapa kelebihan, pendekatan ini juga mengandung berbagai kelemahan. Secara terinci Teeuw menjelaskan empat kelemahan strukturalisme murni, yakni: 

1) strukturalisme belum terpahami mengungkapkan teori sastra yang lengkap, 

2) karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing dan harus dalam suatu sistem satra dengan latar belakang sejarahnya, 

3) adanya unsur tujuan dalam karya sastra disangsikan karena pembaca cukup dalam turut memberi makna, 

4) menemukan puisi yang menitikberatkan otonomi puisi menghilangkan konteks dan fungsinya sehingga puisi dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya (Teeuw, 1984 : 176).

B.Penerapan Pendekatan Objektif

       Pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam bidang puisi (Jefferson, 1982:84) Tulisan ini pun bermaksud menerapkan pendekatan tujuan dalam menganalisis puisi. Dalam lingkup puisi, Pradopo (2000: 14) menguraikan bahwa karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Mengacu pendapat Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, Rene Wellek dalam Pradopo (2000:14) menguraikan norma-norma itu , yaitu 

(1) lapis bunyi ( sound stratum ), misalnya bunyi suara dalam kata, frase, dan kalimat, (2) lapis arti ( satuan makna), misalnya arti dalam fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat, 

(3) lapis objek, misalnya objek-objek yang dikemukakan seperti latar, pelaku, dan pengarang dunia. 

Selanjutnya Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi 

(1) lapis dunia

(2) lapis metafisis.

      Waluyo (1987: 145) menjelaskan, struktur puisi dibangun oleh fisik (metode pengucapan makna) dan struktur batin (makna) puisi.Secaraederhana, penerapan pendekatan tujuan dalam menganilis karya sastra dalam hal ini Puisi , dapat diformulasikan sebagai berikut . Pertama, mendeskripsikan unsur-unsur struktur karya sastra. Kedua, mengkaji keterkaitan makna antara unusr -unsur yang satu dengan lainnya. Ketiga,mendeskripsikan fungsi serta hubungan antar unsur (intrinsik) karya yang bersangkutan . 

      Adapun langkah-langkah menelaah puisi dapat melalui tahap-tahap yang dikemukakan oleh Waluyo (1987: 146), tahap:

1) menentukan struktur karya sastra, 

2) menentukan penyair dan kenyataan sejarah, 3) menelah unsur-unsur, dan 

4) sintesis dan interpretasi . 

     Dengan empat tahap tersebut, puisi diharapkan dapat dipahami sebagai struktur dan sebagai suatu pribadi yang bulat dan utuh. Sejalan dengan itu Djojosuroto (2006:60) mengemukakan analisis strategi pemahaman puisi. Strategi tersebut dimulai dengan : 

1) pemahaman makna kata,

 2) pemahaman baris dan bait, dan 

3) pemahaman totalitas makna.

C.Pendekatan Mimetik  

       Semi (1985:43) menuliskan bahwa pendekatan mimetik bertolak dari pemikiran bahwa sastra -sebagaimana hasil seni yang lain- merupakan pencerminan atau representasi kehidupan nyata. Sastra merupakan tiruan atau pemaduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarang atau hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan. Jika berbicara tentang teori

       Mimetik, kita tidak dapat terlepas dari pengaruh dua orang filsuf besar dari Yunani, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni hanyalah tiruan alam yang nilainya jauh di bawah realitas sosial dan ide, sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia. Sementara, Aristoteles sebagai murid dari Plato berbeda pendapat. Aristoteles menganggap karya seni adalah berada di atas kenyataan karena karya seni sebagai katalisator untuk menyucikan jiwa manusia.

       Menurut Abrams pendekatan mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif, pendekatan mimetik adalah pendekatan yang memandang prosa fiksi sebagai hasil ciptaan manusia yang ditulis berdasarkan bahan-bahan yang diangkat dan semesta. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia.

       Teori mimetik adalah pendekatan-pendekatan estetik dalam studi sastra yang paling sederhana dan kuno, karena adanya diskusi yang diadakan oleh filosof Plato dengan murid-muridnya pada lebih darii 2000 tahun yang lalu, kemudian ditentang muridnya Aristoteles. Dalam diskusi Plato tersebut dipaparkan secara panjang lebar hubungan dunia kenyataan dengan puisi. Hubungan antara karya sastra dalam makalah ini dengan dunia kenyataan sangatlah kompleks. Hal ini sesuai pendapat Teeuw (1984:219) yang menyatakan, kehidupan nyata selain dengan terkait ilmu sastra, juga terkait dengan maslah filsafat, psikologi, sosiologi, dan lain sebagainya. Peristiwa mimetik sebuah karya sastra ini juga dipertegaskan oleh Wellek dan Warren (1989:109), yang mengatakan sifat sastra memang menyajikan sebagian besar tentang kehidupan, sementara itu kehidupan dunia nyata merupakan keadaan sosial masyarakat. Jadi ada faktor tiruan terhadap keadaan sosial dunia nyata dalam karya sastra.  

1.Pandangan Aristoteles mengenai mimetik

       Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi. Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuau yang Lisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dan nafsu rendah penikmatnya.

2.Pandangan Plato mengenai mimesis

       Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana

       pandangannya mengenai seni. Menurut pandangan Plato, segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam dunia gagasan, ada gagasan mengenai manusia, semua manusia yang ada di dunia ini (manusia nyata) adalah tiruan dari manusia yang ada di dunia gagasan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA 

Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Septiaj, Aji, Sefia, yayah, Ayum. (2018). Kritik Sastra Mimetik. Jurnal pendidikan Vol. 2 No. 1 Februari 2018.

Teeuw.A. 1984. Satra dan Ilmu Satra . Jakarta: Pustaka Jaya.

Rabu, 09 November 2022

Aliran-aliran Sastra

Nama : Aurel Gracia

Nim : 22016014

Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.

Sesi(08.50-12.20)

 


A. Aliran Sastra

       Kata mazhab atau aliran berasal dari kata stroming (bahasa Belanda) yang mulai muncul di Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata itu bermakna keyakinan yang dianut golongan-golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham lama (Hadimadja, 1972: 9). Dalam bahasa Inggris, terdapat dua kata yang maknanya sangat berkaitan dengan aliran, yaitu periods, age, school, generation, dan movements.

       Aliran sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan hidup, politik, dll) yang dianut sastrawan dalam menghasilkan karya sastra. Dengan kata lain, aliran sangat erat hubungannya dengan sikap/jiwa pengarang dan objek yang dikemukakan dalam karangannya. Pada prinsipnya, aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian besar, yakni (1) idealisme, dan (2) materialisme.

A. Idealisme

      Idealisme adalah aliran romantik yang bertolak dari cita-cita yang dianut oleh penulisnya. Menurut aliran ini, segala sesuatu yang terlihat di alam ini hanyalah merupakan bayangan dari bayangan abadi yang tidak terduga oleh pikiran manusia. Aliran idealisme ini dapat dibagi menjadi (a) romantisisme, (b) simbolik, (c) mistisisme, dan (d) surealisme

       Romantisisme adalah aliran karya sastra yang sangat mengutamakan perasaan, sehingga objek yang dikemukakan tidak lagi asli, tetapi telah bertambah dengan unsur perasaan si pengarang. Aliran ini dicirikan oleh minat pada alam dan cara hidup yang sederhana, minat pada pemandangan alam, perhatian pada kepercayaan asli, penekanan pada kespontanan dalam pikiran, tindakan, serta pengungkapan pikiran. Pengikut aliran ini menganggap imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Aliran ini kadang-kadang berpadu dengan aliran idealisme dan realisme sehingga timbul aliran romantik idealisme dan romantik realisme. Romantik idealisme adalah aliran kesusastraan yang mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke dalam fantasi dan cita-cita. Hasil sastra Angkatan . Pujangga Baru umumnya termasuk aliran ini. Sementara romantik realisme mengutamakan perasaan yang bertolak dari kenyataan (contoh: puisi-puisi Chairil Anwar dan Asrul Sani).

       Simbolik adalah aliran yang muncul sebagai reaksi atas realisme dan naturalisme. Pengarang berupaya menampilkan pengalaman batin secara simbolik. Dunia yang secara indrawi dapat kita cerap menunjukkan suatu dunia rohani yang tersembunyi di belakang dunia indrawi. Aliran ini selalu menggunakan simbol atau perlambang hewan atau tumbuhan sebagai pelaku dalam cerita. Contoh karya sastra yang beraliran ini misalnya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin dan Kisah Negara Kambing karya Alex Leo.

       Mistisisme adalah aliran kesusastraan yang bersifat melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan. Mistisisme selalu memaparkan keharuan dan kekaguman si penulis terhadap keagungan Maha Pencipta. Contoh karya sastra yang beraliran ini adalah sebagaian besar karya Amir Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan J.E. Tatengkeng.

       Surealisme adalah aliran karya sastra yang melukiskan berbagai objek dan tanggapan secara serentak. Karya sastra bercorak surealis umumnya susah dipahami karena gaya pengucapannya yang melompat-lompat dan kadang terasa agak kacau. Contoh karya sastra aliran ini misalnya Radio Masyarakat karya Rosihan Anwar, Merahnya Merah karya Iwan Simatupang, dan Tumbang karya Trisno Sumardjo.

B. Materialisme

       Materialisme berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang bersifat kenyataan dapat diselidiki dengan akal manusia. Dalam kesusastraan, aliran ini dapat dibedakan atas realisme dan naturalisme.

       Realisme adalah aliran karya sastra yang berusaha menggambarkan/ memaparkan/ menceritakan sesuatu sebagaimana kenyataannya. Aliran ini umumnya lebih objektif memandang segala sesuatu (tanpa mengikutsertakan perasaan). Sebagaimana kita tahu, Plato dalam teori mimetiknya pernah menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan/ realitas. Berangkat dari inilah kemudian berkembang aliran-aliran, seperti: naturalisme dan determinisme.
Realisme sosialis adalah aliran karya sastra secara realis yang digunakan pengarang untuk mencapai cita-cita perjuangan sosialis.

       Naturalisme adalah aliran karya sastra yang ingin menggambarkan realitas secara jujur bahkan cenderung berlebihan dan terkesan jorok. Aliran ini berkembang dari realisme. Ada tiga paham yang berkembang dari aliran realisme (1) saintisme (hanya sains yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar), (2) positivisme ( menolak metafisika, hanya pancaindra kita berpijak pada kenyataan), dan (3) determinisme (segala sesuatu sudah ditentukan oleh sebab musabab tertentu.

       Impresionisme adalah aliran kesusastraan yang memusatkan perhatian pada apa yang terjadi dalam batin tokoh utama. Impresionisme lebih mengutamakan pemberian kesan/pengaruh kepada perasaan daripada kenyataan atau keadaan yang sebenarnya. Beberapa pengarang Pujangga Baru memperlihatkan impresionisme dalam beberapa karyanya.

B. Jenis-jenis Aliran Sastra

      Aliran dalam Sastra Lainnya
Selain aliran surealisme, sebuah karya sastra terbagi ke dalam sejumlah aliran lain. Dilansir dari buku bertajuk Menyelami Keindahan Sastra Indonesia karya Lianawati W.S. berikut 11 aliran sastra:

1. Aliran Realisme
Aliran realisme adalah aliran yang melukiskan keadaan sesuai dengan kenyataan tanpa mengurangi atau menambahkan kejadian yang dilihat. Sebagian besar karya sastra angkatan 45 beraliran realisme.

2. Aliran Naturalisme
Aliran naturalisme adalah aliran yang menggambarkan sesuatu sesuai dengan kenyataan. Apabila realisme hanya mengungkapkan hal yang baik dan tidak menyinggung orang lain, justru kebalikan dari itu, aliran naturalisme memandang sesuatu hanya dari sudut buruknya.

3. Aliran Neo-Naturalisme
Berbeda dengan naturalisme, aliran ini tidak hanya menekan sesuatu pada buruknya saja tetapi juga sudut yang baiknya juga.

4. Aliran Ekspresionisme
Aliran ekspresionisme adalah aliran yang menekankan perasaan atau jiwa.

5. Aliran Impresionisme
Aliran impresionisme adalah aliran yang melukiskan kejadian yang ditemui pengarang dalam kehidupan nyata berdasarkan kesan sepintas saja.
6. Aliran Determinisme
Aliran determinisme adalah aliran yang melukiskan kejadian dari sudut buruknya saja. Misalnya, ketidakadilan, penyelewengan, dan sikap buruk masyarakat. Aliran ini dianut oleh sebagian besar sastrawan angkatan 66, seperti contohnya puisi Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta karya W.S. Rendra.

7. Aliran Romantisme
Aliran romantisme adalah aliran yang melukiskan sesuatu penuh dengan perasaan.

8. Aliran Idealisme
Aliran idealisme adalah aliran yang melukiskan gagasan atau pendirian pengarangnya.

9. Aliran Simbolisme
Aliran Simbolisme adalah aliran yang menggunakan simbol isyarat untuk menutupi maksud sebenarnya. Di Indonesia, aliran simbolisme banyak lahir pada masa penjajahan Jepang. Hal ini dimaksudkan agar karya sastranya bisa lolos dari badan sensor Jepang.

10. Aliran Psikologisme
Aliran psikologisme adalah aliran yang menekankan pada aspek kejiwaan atau psikologis.

11. Aliran Didaktisme
Aliran didaktisme adalah aliran yang menekankan pada aspek pendidikan


DAFTAR PUSTAKA 

Lubis,Winaria.(2017)."Alira Sastra Ilmu Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia"(Online)https://winarialubis.wordpress.com/2017/10/18/aliran-sastra/,diunduh pada 10 November 2022

Pengesti,Riska.(2022)."Pengertian Surealisme dan 11 Aliran Sastra Lainnya.(Online)https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5922907/pengertian-surealisme-dan-11-aliran-sastra-lainnya,diunduh pada 10 November 2022

Kamis, 03 November 2022

Puisi

Nama : Aurel Gracia

Nim : 22016014

Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

Dosen pengampu : Dr.abdurahman,M.pd.

Sesi(08.50-12.20)


1. Pengertian Puisi

       Dalam bahasa Indonesia (Melayu) dahulu hanya dikenal satu istilah sajak yang berarti poezie ataupun gedicht. Poezie (puisi) adalah jenis sastra (genre) yang berpasangan dengan istilah prosa. Gedicht adalah indifidu karya sastra, dalam bahasa Indonesia sajak, misalnya sajak Aku. Jadi, dalam bahasa Indonesia hanya ada istilah sajak, baik untuk poezie maupun untuk gedicht.

       Dalam bahasa Inggris ada istilah poetry sebagai istilah jenis sastra: puisi, dan poem sebagai indifidunya. Oleh karena itu, istilah puisi itu sebaiknya dipergunakan sebagai jenis sastra: poetry, sedangkan sajak untuk indifidu puisi: poem. Dengan demikian, penggunaan istilah puisi dan sajak tidak dikacaukan. Misalnya, antologi puisi, puisi Chairil Anwar untuk menunjuk jenis sastranya, sedangkan untuk indifidu sajak Aku, sajak Pahlawan Tak Dikenal.

A. Puisi menurut Pengertian Lama

      Dalam buku pelajaran kesusastraan untuk SMU, masih tampak adanya pengertian puisi menurut pandangan lama, salah satunya dalam buku Wirjosoedarmo (1984: 51) sebagai berikut. Puisi itu karangan yang terikat, terikat oleh (a) banyak baris dalam tiap bait (kuplet/strofa, suku karangan); (b) banyak kata dalam tiap baris; (c) banyak suku kata dalam tiap baris; (d) rima; dan (e) irama.

        Kalau Anda perhatikan contoh syair dan sajak Rustam Effendi, penyair Pujangga Baru, tampaklah bahwa kedua sajak itu sesuai dengan pengertian atau definisi yang dikemukakan Wirjosoedarmo.

B. Puisi menurut Pengertian Baru

       Para penyair baru (modern) menulis puisi tanpa mempedulikan ikatanikatan formal seperti puisi lama. Akan tetapi, mengapa tulisannya atau hasil karyanya masih disebut sebagai puisi?

       Hal ini disebabkan oleh pemahaman bahwa bentuk-bentuk formal itu hanya merupakan sarana-sarana kepuitisan saja, bukan hakikat puisi. Penyair dapat menulis dan mengombinasikan sarana-sarana kepuitisan yang disukainya. Sarana kepuisian dipilih dengan tujuan untuk dapat mengekspresikan pengalaman jiwanya. Para penyair Angkatan 45 memilih sarana kepuitisan yang berupa diksi atau pilihan kata secara tepat, pilihan kata yang dapat memberikan makna seintensitas mungkin, yang dapat merontgen ke putih tulang belulang, kata Chairil Anwar (Jassin, 1978: 136). Sarana kepuitisan yang berupa sajak akhir masih dipergunakan juga demi intensitas arti atau maknanya. Akan tetapi, sajak akhir itu harus berupa pola bunyi yang teratur dan tetap.

2. Aspek Puisi

       Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam memahami puisi, yaitu Sifat Seni atau Estetik, Kepadatan, dan Ekspresi Tidak Langsung.

A. SIFAT ESTETIK

       Puisi adalah karya seni sastra. Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra. Rene Wellek dan Warren (1968: 25) mengemukakan: “paling baik kita memandang kesusastraan sebagai karya yang di dalamnya memiliki fungsi estetika yang dominan.”

        Tanpa fungsi seni itu karya kebahasaan tidak dapat disebut karya (seni) sastra. Sementara itu, kita dapat mengenal adanya unsur-unsur estetik (keindahan) misalnya gaya bahasa dan komposisi. Puisi sebagai sebagai karya sastra mengandung fungsi estetika yang sangat dominant, artinya di dalam puisi tersebut terdapat unsur-unsur estetika atau keindahan. Unsurunsur keindahan ini merupakan unsur-unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama, dan gaya bahasa. Gaya bahasa meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetika atau aspek kepuitisan yaitu bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu itu. Semua itu merupakan aspek estetika atau aspek keindahan puisi.

       Untuk menjelaskan fungsi estetika puisi yang mempunyai aspek bermacam-macam itu, marilah kita ambil contoh sajak-sajak dan kita komentari.

B. KEPADATAN

       Membuat sajak itu merupakan aktivitas pemadatan. Dalam puisi tidak semua peristiwa itu diceritakan. Hal yang dikemukakan dalam puisi hanyalah inti masalah, peristiwa, atau inti cerita. Hal yang dikemukakan dalam puisi adalah esensi sesuatu, jadi puisi itu merupakan ekspresi esensi. Oleh karena puisi itu mampat dan padat maka penyair memilihkata dengan akurat (Altenbernd, 1970: 9).

       Untuk pemadatan ini, kadang-kadang kata-kata hanya diambil inti dasarnya. Imbuhan, awalan, dan akhiran sering dihilangkan. 

C. EKSPRESI TIDAK LANGSUNG

       Di atas telah dikemukakan bahwa sajak “Selamat Tinggal” penuh kiasan. Kiasan ini merupakan salah satu ekspresi atau pengucapan tidak langsung. Apakah ekspresi tidak langsung itu merupakan hakikat puisi? kita tinjau hal ini sebagai penjelasan berikut.

      Puisi itu sepanjang zaman selalu berubah seperti telah kita lihat dalam Kegiatan Belajar 1. Dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 1) bahwa sepanjang waktu, dari waktu ke waktu, puisi itu selalu berubah. Perubahan itu disebabkan oleh evolusi selera dan perubahan konsep estetik. Akan tetapi, satu hal yang tidak berubah, yaitu puisi itu mengucapkan sesuatu secara tidak langsung. Ucapan tidak langsung itu ialah menyatakan suatu hal dengan arti yang lain.

       Ketidaklangsungan ekspresi ini menurut Riffeterre (1978: 2) disebabkan oleh 3 hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning),(2) penyimpangan atau pemencongan arti (distorting of meaning), (3) penciptaan arti (creating of meaning). Marilah kita bicarakan satu per satu supaya menjadi jelas.

1. Penggantian Arti

       Penggantian arti ini (Riffaterre, 1987: 2) disebabkan oleh penggunaan metafora dan metomini. Metafora dan metomini adalah salah satu bahasa kiasan. Akan tetapi, yang dimaksudkan metafora dan metonimi disini adalah bahasa kiasan pada umumnya. Bahasa kiasan itu merupakan ucapan tidak langsung. Bahasa kiasan terdiri atas (a) Perumpamaan (simile), (b) metafora,(c) personifikasi, (d) metonimi, (e) sinekdoki, (f) perumpamaan (epic simile),dan (f) alegori. Jadi, metafora dan metonimi adalah salah satu jenis bahasa kiasan.Perumpamaan (simile) mengiaskan sesuatu dengan kaata pembanding:seperti, sebagai, bak, seumpama. Bahasa kiasan itu dipergunakan untuk membuat gambaran menjadi jelas.

2. Penyimpangan Arti

       Penyimpangan arti atau pemencongan arti ini (Riffaterre, 1978: 2) disebabkan oleh penggunaan (a) ambiguitas, (b) kontradiksi, dan (c) nonsense.

      Ambiguitas adalah ketaksaan, yaitu kata yang mempunyai arti lebih dari satu atau dapat ditafsirkan bermacam-macam makna. Ambiguitas itu dapat berupa kata, frase (kelompok kata) atau kalimat.

3. Penciptaan Arti

      Penciptaan arti (Riffaterre, 1978: 2) adalah pengorganisasian ruang teks untuk menciptakan arti. Ruang teks itu secara linguistik, secara kebahasaan, tidak ada artinya. Di antaranya pola persajakan, enjambemen, tipografi, dan homologue.

      Persajakan itu misalnya sajak akhir, asonansi dan aliterasi, secara linguistik tidak ada artinya, tetapi dalam sajak menimbulkan arti atau makna; makna keindahan, makna penyangatan pernyataan atau makna yang lain.

       Enjambemen itu perloncatan baris; baris kalimat yang belum selesai diputus dan diloncatkan kebaris di bawahnya. Gunanya untuk memberi perhatian atau ketegangan kata terakhir dalam baris ituatau kata pertama dalam baris berikutnya. Misalnya, dalam bait pertama sajak Sebuah jendela menyerahkan kamar ini belum selesai, diloncatkan pada baris berikutnya pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam-/mau lebih banyak tahu.

        Tipografi adalah tata huruf (lihat contoh sajak Tragedi Winka & Sihka dalam Modul 2. Tata huruf dibuat berliku-liku seperti kelok-kelok jalan yang berbahaya. Secara linguistik, tipografi berkelok-kelok itu tidak ada artinya. Akan tetapi, dalam sajak itu, karena konvensi sistem tanda, dapat mempunyai makna. Di situ berarti perkawinan yang penuh kasih itu, melalui jalan kehidupan yang berkelok-kelok penuh bahaya, dapat berakhir dengan perceraian (Winka) yang penuh kedamaian (sihka). Itulah sebuah tragedi winka & sihka. Kata-kata kalau dibalik (dimetatesiskan) artinya berbalikan juga. Misalnya, Tuhan kalau dibalik menjadi hantu. Tuhan itu maha kasih, hantu itu maha jahat. 

3. Fungsi Puisi

       Sesuai dengan sifat dan hakikat puisi yang merupakan ekspresi tidak langsung, kegunaan puisi ini juga tidak langsung, yaitu kegunaan yang bersifat spiritual bagi kehidupan batin dan kejiwaan manusia. Puisi mempengaruhi kehidupan manusia lewat kehidupan batin dan kejiwaannya. Lewat kehidupan kejiwaan ini, pasti mempengaruhi aktivitas kehidupan fisik manusia. Misalnya, aktivitas perjuangan bangsa menuju kemerdekaan bangsa seperti disarankan oleh puisi berjiwa kebangsaan yang ditulis oleh para penyair Pujangga Baru.

        Jenis-jenis kegunaan puisi itu banyak sekali sesuai dengan kandungan isinya. Akan tetapi, dalam uraian ini kita ambil yang penting-penting saja antara lain, manfaat yang berkaitan dengan (1) ketuhanan atau keagamaan, (2) kualitas diri, (3) tanah air, (4) sesama manusia, (5) manfaat puisi terhadap seni dan kebudayaan.

1. Manfaat Puisi terhadap Rasa Ketuhanan

       Puisi dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan, Sang Pencipta, Yang Maha Rahman. Ada beberapa sajak religius yang terkenal, misalnya Padamu Jua karya Amir Hamzah, Doa sajak Chairil Anwar.

2. Manfaat Puisi terhadap Kualitas Diri

       Puisi dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas diri dengan cara mengevaluasi tingkah laku, mengintrospeksi diri secara jujur. Hal ini tampak dalam sajak Chairil anwar Selamat Tinggal yang telah dikutip di depan. Dengan berkaca, melihat diri sendiri, merenungi keadaan diri sendiri, si aku melihat cacat-cacat dan kekurangan dirinya. Dalam sajak M. Taslim Ali berikut tampak siapa atau apa hakikat manusia sesungguhnya.

3. Manfaat Puisi terhadap Rasa Cinta pada Tanah Air

        Sajak juga dapat membangkitkan rasa cinta pada tanah air, membangkitkan semangat berjuang untuk merebut kemerdekaan. Hal ini dapat kita lihat pada Sajak Asmara Hadi Bangsaku Bersatulah yang telah kita bicarakan di atas. Dalam sajak Tanah Bahagia karya Sanusi Pane, si aku ingin menuju ke tanah bahagia yaitu tanah Indonesia yang merdeka. Pada waktu itu Indonesia masih dijajah Belanda (1932). Oleh karena itu, si aku selalu bersedih hati, sengsara setiap hari. Si aku merindukan tanah bahagia yang bersinar emas permata. Secara tidak langsung si aku mengiaskan bangsa Indonesia yang menginginkan kemerdekaan

4. Manfaat Puisi terhadap Hubungan Sesama Manusia

       Puisi juga dapat membangkitkan rasa cinta kepada sesama, kepada orang-orang sebangsa yang menderita. Puisi mengajak mengentas kemiskinan, membantu yang lemah. Dalam sajak Buat Saudara Kandung, Hartoyo Andangdjaya menyebut kaum sebangsa sebagai saudara kandung. Mereka adalah rakyat kecil yang hidup menderita, yang harus dientas dari penderitaan dan kemiskinan. Meskipun sudah lama merdeka, tetapi mereka masih hidup dalam penderitaan.

5. Manfaat Puisi terhadap Kebudayaan

        Puisi juga dapat merangsang tumbuhnya rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri. Sering kali kita lupa bahwa kita telah mempunyai kebudayaan yang tinggi. Kita lupa memeliharanya, padahal bangsa asing sering ingin mempelajarinya, seperti mempelajari seni pedalangan, gamelan, seni tari. Mereka juga ingin memiliki benda-benda hasil kebudayaan kita, seperti patung, lukisan, keris, dan alat-alat gamelan atau kesenian yang lainnya. Sajak Ajib Rosidi berikut ini mengajak kita untuk memelihara kebudayaan dan kesenian kita.

4. Unsur-unsur Puisi

        Dalam membentuk puisi terdapat dua unsur yaitu, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Agar lebih memahami lebih jelas, simak penjelasan unsur-unsur puisi berikut ini yang dirangkum dari buku Analisis Unsur Pembangunan Puisi yang ditulis oleh Sutji Harijanti, yaitu:

a. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik puisi adalah unsur yang terkandung dalam puisi dan memengaruhi puisi sebagai karya sastra.

1. Diksi atau pilihan kata

Dalam membangun puisi, penulis memilih kata dengan cermat dengan cara mempertimbangkan makna. Selain itu, kedudukan kata dalam suatu puisi keseluruhan.

2. Daya bayang atau imaji

Imaji ketika membangun puisi adalah penggunaan kata-kata yang konkret dan khas yang dapat menimbulkan imaji visual, auditif, dan taktil.

3. Gaya bahasa atau majas

Gaya bahasa dalam puisi yaitu bahasa yang dipakai penyair untuk mengatakan sesuatu dengan memakai kata-kata yang bermakna kiasan.

4. Bunyi

Bunyi dalam puisi mengacu pada penggunaan kata tertentu sehingga menimbulkan efek nuansa berbeda.

5. Rima

Rima adalah persamaan bunyi dalam puisi yang bertujuan untuk menimbulkan efek keindahan.

6. Ritme

Selain rima, dalam puisi juga diperlukan adanya ritme, ritme dalam puisi adalah dinamika suara dalam puisi agar tidak monoton bagi penikmat puisi.

7. Tema

Tema dalam puisi adalah gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh penulis melalui puisinya.

b. Unsur ekstrinsik

Unsur ekstrinsik puisi adalah unsur-unsur yang berada di luar puisi dan mempengaruhi kehadiran puisi sebagai karya seni. Adapun yang termasuk dalam unsur ekstrinsik puisi yaitu aspek historis, psikologis, filsafat, dan religius.

1. Aspek historis, adalah unsur kesejarahan atau gagasan yang terkandung dalam puisi.

2. Aspek psikologis, adalah aspek kejiwaan pengarang yang termuat dalam puisi.

3. Aspek filsafat, filsafat berkaitan erat dengan puisi atau karya sastra keseluruhan.

4. Aspek religius, dalam puisi mengacu pada tema yang umum diangkat dalam puisi oleh penyair.


DAFTAR PUSTAKA 

Alisyahbana, S. Takdir. (1996). Puisi lama. Jakarta: Dian Rakyat.

Andangdjaya, Hartoyo. (1973). Buku Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.


Penyajian Masalah Semantik: Topik: Analisis Makna dalam Lirik Lagu Tulus: Album Monokrom

Nama          : Aurel Gracia Nim            : 22016014 Prodi        : Pendidikan bahasa dan sastra indonesia Analisis Makna dalam Lirik Lagu...